Di perbukitan batu kapur Gunungkidul, pagi baru saja dimulai. Kabut tipis masih bergelayut di ladang-ladang di Dusun Wonosari yang menampakkan barisan tanaman lidah buaya berwarna hijau segar. Di antara tanaman berdaun tebal itu, seorang lelaki bernama Alan Efendhi tampak berjalan pelan sambil memandang hamparan tanaman yang basah oleh embun. Wajahnya teduh, tapi tangan kasarnya menyimpan kisah panjang tentang perjuangan, kegagalan, dan keyakinan yang tak pernah padam.


Alan Efendhi mengubah tanah gersang Gunungkidul menjadi berkah bersama Aloe Vera. (Sumber: belitongekspres.disway.id)


Sambil memegang satu tangkai daun besar yang siap panen, ia mengatakan bahwa dulu ia sama sekali tidak tahu lidah buaya ini bisa menjadi apa. Tetapi ia tahu satu hal, tanaman ini bisa jadi sesuatu yang berguna dan bisa mengangkat kampungnya.


Kini usaha minuman berbahan dasar lidah buaya yang ia rintis, Aloe Liquid, telah menggandeng lebih dari seratus petani di Gunungkidul, Bantul, Sleman hingga Klaten. Setiap hari, sedikitnya 500 kilogram lidah buaya segar dikumpulkan dari para mitra untuk diolah menjadi minuman, keripik, dan manisan.


Namun, jalan menuju keberhasilan itu pada awalnya sama sekali tidak lurus.


Pemuda yang Tak Diharapkan Jadi Petani


Alan lahir dan besar di keluarga petani di Gunungkidul. Wilayah ini kerap disebut sebagai “negeri kapur” karena tanahnya yang kering dan miskin air. Ayah, ibu, kakek, dan neneknya semua menggantungkan hidup dari bertani. Tetapi, Alan sedari kecil sudah sering mendengar pesan yang sama berulang-ulang dari orang tuanya: “Jangan jadi petani!”


Bagi keluarganya, pertanian bukan jalan keluar dari kemiskinan. Alan mengungkapkan bahwa ia adalah anak yang tidak diharapkan menjadi petani. Musim kemarau panjang di Gunungkidul membuat sawah sering merekah seperti kulit retak, tanaman gagal panen, hasil tak menentu, dan sebagian besar pemuda akhirnya memilih menjadi buruh bangunan atau merantau.


Alan pulang dari rantau untuk menjadi petani sukses. (Sumber: kompas.id)

Orang tua Alan juga ingin anaknya punya masa depan lain. Setelah lulus dari SMK jurusan otomotif, Alan pun berangkat ke Jakarta dengan selembar ijazah di tangan dan harapan sederhana di dada, yaitu menjadi karyawan pabrik.


Namun, nasib berkata lain. Tidak ada satu pabrik pun yang mau menerimanya. Puluhan lamaran dikirimnya, tapi tak satu pun berbalas. Alan pun mencoba bertahan dengan bekerja apa saja, mulai dari menjadi buruh serabutan, ojek, hingga kuli angkut. Kehidupan ibu kota di antara tahun 2017-2018 itu adalah ujian panjang baginya.


Namun dari upah seadanya itu, Alan tetap menyisihkan sedikit untuk menabung. Ia kuliah lagi dan mengambil jurusan teknik sambil berharap pendidikan bisa membuka peluang baru. Tapi setelah lulus, kenyataan kembali menamparnya, dunia otomotif sudah penuh dengan mereka yang lebih ahli. Dalam hatinya tumbuh rasa cemas. Ia mulai merasa tak punya tempat di kota yang katanya menjanjikan segalanya itu.


Setiap malam, kerinduan pada kampung halaman menyelinap di sela-sela lelahnya bekerja. Ia jarang pulang dan hanya sekali setahun sekadar mencium tangan orang tua dan menatap ladang kering yang dulu ditinggalkannya.


Hingga suatu ketika, ia mulai bertanya pada diri sendiri, “Kalau saya pulang kampung, saya bisa kerja apa?” Pertanyaan itulah yang menjadi titik balik hidupnya.


Sebelum benar-benar pulang, Alan mencari tahu banyak hal tentang tanah kelahirannya. Ia membaca laporan, menonton video, dan berbincang dengan rekan-rekan yang tinggal di Yogyakarta. Dari situ, ia tahu bahwa Gunungkidul memiliki lahan luas yang kering, tetapi masih menyimpan potensi besar jika diolah dengan tepat.


Tanah gersang Gunungkidul cocok bagi tanaman lidah buaya. (Gambar: teropongmedia.id)

Ia menemukan empat komoditas yang konon cocok dengan karakter tanah kapur: pepaya California, buah naga, anggur, dan lidah buaya. Dari semuanya itu, tanaman yang paling menarik perhatiannya adalah yang terakhir.


Lidah buaya atau aloe vera dikenal tahan panas dan minim air. Selain itu, tanaman ini memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan makanan, kosmetik, hingga obat herbal. Alan merasa telah menemukan secercah jawaban.


Kembali Pulang dengan Bibit dari Pontianak


Suatu hari, ia memutuskan pulang kampung. Tidak dengan tangan kosong, tapi membawa koper berisi bibit lidah buaya dari Pontianak. Ia tak memberi tahu orang tuanya lebih dulu karena mereka pasti bakal mengira ia gagal di Jakarta.


Begitu tiba, Alan langsung menuju rumah orang tuanya di Gunungkidul. Ia membuka koper dan menunjukkan bibit-bibit lidah buaya yang masih terbungkus rapi. Ia mengatakan kepada orang tuanya bahwa insya Allah sepuluh tahun lagi bibit ini akan mengangkat derajat keluarga mereka.


Orang tuanya hanya mengangguk dan mengalirkan doa mereka meski di baliknya tersimpan keraguan. Di mata mereka, tanaman itu asing. Gunungkidul bukanlah tanah subur dan lidah buaya bukan komoditas yang lazim di sana. Tetapi, Alan punya keyakinan sendiri. Ia tidak tahu lidah buaya ini bisa jadi apa, tetapi ia tahu tanaman ini bisa dijual dan bisa diolah. Ia ingin punya usaha yang bermanfaat bagi lingkungan.


Gerakan Alan bersama aloe vera berdampak memberdayakan masyarakat sekitarnya. (Sumber: radioidolasemarang.com)

Awal perjalanan tentu tidak mudah. Bibit-bibit lidah buaya yang ditanam Alan di ladang kering itu sempat layu karena panas ekstrem. Air sulit didapat. Beberapa kali ia hampir menyerah, tapi keyakinannya membuatnya bertahan.


Tahun 2019 menjadi titik penting. Setelah lima tahun menanam, Alan akhirnya memetik hasil panen pertama. Dari sana, ia mulai bereksperimen membuat minuman segar berbahan lidah buaya. Produk pertamanya sederhana, dikemas manual, dan dijual ke tetangga sekitar.


“Saya punya tiga mitra pertama. Mereka bulik-bulik saya,” katanya sambil tertawa. Dari situlah lahir nama Aloe Liquid, produk lokal Gunungkidul yang kini dikenal luas.


Perlahan-lahan kabar tentang usaha Alan menyebar. Petani-petani di sekitar mulai tertarik. Mereka melihat bahwa lidah buaya bisa tumbuh subur di tanah kering dan yang lebih penting bisa dijual dengan harga lebih baik dibanding padi atau jagung.


Alan mulai mengajak mereka bergabung sebagai mitra. Ia membantu menyediakan bibit, pelatihan, serta menampung hasil panen. Ia ingin orang lain juga merasakan manfaatnya.


Bergerak untuk Menumbuhkan Harapan di Tanah Gersang


Kini lebih dari seratus petani dari Gunungkidul, Bantul, Sleman, hingga Klaten tergabung dalam jaringan mitra Aloe Liquid. Setiap hari, Alan menerima 500 hingga 700 kilogram lidah buaya segar. Tanaman yang dulu dianggap tak berguna kini menjelma menjadi sumber kehidupan baru bagi banyak keluarga. Dari hasil panen itu, Alan dan timnya mengembangkan berbagai produk olahan, mulai dari minuman lidah buaya, keripik, hingga manisan Nata de Aloe Vera.


Alan bersama hasil olahan lidah buaya. (Sumber: tempo.com)

Kantor produksinya sederhana dan berdiri di antara rumah-rumah warga. Tapi kesederhanaan itu justru menjadi simbol semangat kewirausahaan desa. Di sana, para pekerja yang kebanyakan ibu rumah tangga sibuk memotong, mengupas, dan mengemas hasil olahan.


Menurut Alan, Aloe Liquid bukan cuma soal bisnis, ini tentang bagaimana mereka bisa saling menguatkan. Ia bercerita bahwa banyak mitranya dulunya adalah petani yang kehilangan semangat karena lahan tandus. Kini, mereka menemukan kembali makna bekerja di tanah sendiri.


Buah Manis Kerja Keras; Penghargaan dan Pengakuan


Kerja keras itu berbuah manis. Tahun 2023, Alan dinobatkan sebagai penerima Apresiasi SATU Indonesia Award bidang kewirausahaan dari PT Astra International Tbk. Penghargaan itu diberikan kepada individu muda yang memberikan dampak sosial nyata di daerahnya. Saat namanya diumumkan, Alan mengaku sempat tak percaya karena ia hanya ingin membuktikan bahwa usaha kecil di desa bisa tumbuh besar jika dikerjakan dengan hati.


Bersama Alan, masyarakat Gunungkidul ikut memperoleh berkah dari lidah buaya. (Sumber: belitongekspres.disway.id)

Sejak itu, kisahnya banyak diliput media sehingga produk Aloe Liquid pun semakin dikenal dan dipercaya masyarakat. Banyak yang mewawancarainya dan hal ini dampaknya besar sekali. Orang jadi tahu kalau lidah buaya bisa jadi sumber ekonomi yang menjanjikan.


Namun penghargaan baginya bukan akhir perjalanan. Ini baru awal dan ia ingin mengembangkan pabrik pengolahan yang lebih besar sehingga dapat membantu lebih banyak petani.


Dari Tanah Gersang ke Tanah Harapan


Gunungkidul kini tidak lagi sekadar simbol kekeringan. Di beberapa sudut desa, hamparan hijau lidah buaya menggantikan pandangan tandus yang dulu begitu akrab. Bagi Alan, setiap daun yang tumbuh adalah pengingat bahwa dari tanah yang keras pun, kehidupan bisa bersemi.


Ketika ia berdiri di tepi ladang dan menatap petani-petani muda yang sibuk memanen, angin kering membawa aroma tanah bercampur getah lidah buaya yang baru dipotong. Di matanya tampak kilau haru. Kadang ia berpikir, kalau dulu ia diterima di pabrik, mungkin ia tidak akan sampai di sini.


Kini lelaki yang dulu dianggap gagal itu telah menciptakan lapangan kerja bagi ratusan orang, menghidupkan lahan-lahan yang dulu tak tersentuh, dan mengubah pandangan masyarakat tentang pertanian di Gunungkidul.


Inspirasi untuk Pulang dan Dampak yang Memberdayakan


Kisah Alan Efendhi adalah kisah tentang pulang. Tentang keberanian menengok kembali tanah kelahiran yang dulu dianggap tak menjanjikan, lalu menumbuhkan harapan dari dalamnya. Bagi banyak anak muda di desa, jalan merantau sering kali dianggap satu-satunya pilihan. Tapi Alan membuktikan bahwa pulang bukan berarti mundur, melainkan menemukan cara baru untuk maju.


Alan menyatakan bahwa jika kita mau melihat potensi sekitar, pasti akan ada peluang. Kita cuma perlu keyakinan dan niat untuk terus mencoba. Kini, setiap kali ada anak muda Gunungkidul yang bertanya bagaimana memulai usaha di desa, Alan hanya tersenyum dan mengatakan mulailah dari apa yang mereka punya dan dari tempat di mana mereka berpijak.


Produk olahan aloe vera dari Alan Efendhi ikut serta dalam event Jakarta Fair. (Sumber: wartahandayani.com)

Ketika langit Gunungkidul perlahan berubah jingga, Alan kadang menyempatkan diri berjalan di antara barisan lidah buaya yang siap panen. Tangannya menelusuri daun-daun yang terasa sejuk di kulit. Alan juga kadang berhenti sejenak dan menatap ke arah bukit. Di sanalah dulu ia bermain dan di tanah yang sama yang kini memberinya denyut kehidupan. Dulu ia tidak diharapkan jadi petani, tapi sekarang ia bersyukur karena justru dari bertani, ia bisa membantu banyak orang.


Dari kegagalan menjadi montir di ibu kota, Alan Efendhi menemukan panggilan sejatinya di ladang. Dari tanah yang dulu kering di Gunngkidul, ia menumbuhkan harapan dan dari rasa rindu, ia menumbuhkan kehidupan baru.


Dari desa yang dulu dianggap tak punya masa depan, ia membuktikan bahwa masa depan bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tanah paling gersang sekalipun asalkan ada tangan-tangan yang mau menanam dan hati yang tak pernah berhenti untuk percaya bahwa mereka bisa!

 


Kain tenun Tembe Nggoli khas Ntobo, Bima. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id


ANGIN KERING Nusa Tenggara Barat selalu membawa aroma garam dari lautan dan debu savana di sekitar bukit-bukit tandus. Namun, di Kampung Ntobo, Bima, angin itu juga membawa dengung ritmfis yang tak pernah berhenti: tok-tak, tok-tak, tok-tak. Itu adalah suara kayu yang beradu dari alat tenun gedog yang menjadi detak jantung dari 95 persen warganya.


Identitas yang Terselubung Kain

Selama turun-temurun, nyawa Ntobo ada pada setiap helai kain Tembe Nggoli. Ibu-ibu, gadis remaja, bahkan anak-anak yang baru belajar memintal, semua hidup dari untaian benang. Mereka adalah maestro tenun tanpa panggung. Mereka adalah penenun yang kerajinannya diakui sebagai warisan, tetapi kampungnya sendiri tak pernah dianggap sebagai ‘Kampung Tenun’. Identitas mereka tersembunyi di balik keindahan motif bunga samobo dan bunga satoko yang mereka ciptakan.


Di antara ribuan helai benang lungsin yang membujur dan pakan yang melintang pada hasil tenunan itu, ada seorang ibu lulusan SMA bermata tajam dengan tiga anaknya yang melangkah dengan gesit untuk mencoba mengubah takdir membuka jati diri kampung kelahirannya. Namanya Yuyun Ahdiyanti. Keresahan yang menjalar di dada Yuyun bukanlah tentang kesulitan menenun, mereka adalah para maestro. Keresahan itu adalah tentang ketiadaan pengakuan pada keahlian dan nama mereka.


Sejak kecil ia telah menjadi saksi mata kerja keras para perempuan Ntobo, tenaga mereka yang terkuras, waktu mereka yang menipis, dan keahlian mereka dalam menghasilkan kain tenun bernilai seni tinggi, tetapi semua itu dihargai rendah di pasar yang tak terlihat dan terjangkau oleh mereka.


Yuyun Ahdiyanti memamerkan sehelai kain tenun di galerinya. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Kegelisahan Yuyun pada akhirnya melahirkan sebuah tujuan sederhana nan ambisius: menaikkan martabat helai demi helai tenun Ntobo pada suatu saat.


Gerakan dari Media Sosial ke Modal Mikro

Tahun 2015 bagi Ntobo adalah tahun yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya yang penuh ketekunan dan kurangnya pengakuan. Akses modal adalah hantu yang menakutkan dan pemasaran adalah jurang tak terjangkau. Para penenun hanya bisa menunggu pengepul datang, lalu menerima harga yang sering kali seadanya.


Yuyun, dengan segala keterbatasan ijazah dan dana, memutuskan untuk menggunakan senjata yang ia miliki: ponsel pintar dan internet. Ia memulai dengan memotret kain-kain tenun hasil karya keluarganya yang sarat makna, mulai dari motif bunga kakando yang mengingatkan pada keagungan Tuhan hingga bunga aruna yang menyimpan refleksi 99 sifat-Nya. Ia mengunggah foto-foto itu di media sosial pribadinya, terutama Facebook dengan nama Yuyun Kaen Tenun Bima.


Mungkin inilah yang disebut moment of truth. Hal yang terjadi setelah Yuyun mengunggah kain-kain tenun nan artistik itu adalah ledakan tak terduga. Unggahan itu viral. Pesanan membanjiri kotak masuknya. Dalam sekejap, kain Ntobo, yang selama ini hanya berputar di Bima, menarik perhatian pembeli dari luar daerah. Yuyun menyadari, ini bukan hanya peluang bisnis. Lebih dari itu, ini adalah sebuah pesan dan tanggung jawab.


Yuyun bersama para ibu penenun kain. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Ia tak ingin menikmati rezeki itu sendirian. Bagi Yuyun, tenun adalah milik mereka bersama dan identitas kolektif tempat kelahirannya. Inilah momentum untuk mewujudkan agenda yang rencanakan; ia menyebutnya Srikandi Penenun Asa Kampung Ntobo.


Dari dapur rumahnya yang sederhana, Yuyun mendirikan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang ia beri nama UKM Dina. Dina adalah wadah, bukan sekadar toko. Yuyun menggunakan modal awal yang ia dapat untuk memberi pinjaman modal mikro kepada penenun di sekitarnya. Ia tak hanya memberi bahan baku, tetapi juga desain yang lebih segar. Hal yang terpenting adalah ia mengambil alih urusan pemasaran yang paling sulit dijangkau para ibu penenun.


UKM Dina menjadi jembatan antara tangan-tangan terampil di Ntobo dengan pasar luas. Setiap pesanan besar yang diterima Yuyun, ia sebarkan ke ratusan penenun. Ia memastikan bahwa tenun Bima yang dipasarkannya tidak hanya indah, tetapi juga dipahami sebagai warisan budaya di mana setiap helai mencerminkan nilai luhur, doa, dan jati diri masyarakatnya.


Mengukur Sukses dalam Untaian Benang dan Generasi Muda

Dampak dari gerakan Yuyun Ahdiyanti melampaui hitungan rupiah, ia mengubah jiwa sebuah kampung. Kampung Ntobo yang tadinya "tidak punya nama" di peta tenun Indonesia, kini mulai didatangi pelancong, baik domestik maupun mancanegara.


Secara bisnis, angka-angka berbicara sangat lantang. Dari omset yang awalnya tak terbayangkan, kini UKM Dina mencatat perputaran uang berkisar antara Rp100 juta hingga Rp300 juta per bulan. Yuyun berhasil memberdayakan setidaknya 200 penenun dan 15 penjahit utama, sebuah angka yang terus bertambah. Di Facebook, akun UKM Dina menjadi influencer lokal dengan lebih dari 11 ribu pengikut, sebuah bukti nyata bahwa kearifan lokal bisa berbicara di panggung digital.


Beberapa contoh kain tenun yang dipromosikan Yuyun di media sosialnya. (Sumber: Facebook Yuyun Kaen Tenun Bima)


Namun, bagi Yuyun, manfaat yang paling berharga adalah perubahan sosial yang ia lihat di mata para penenun itu.


Jumlah penenun binaan saya sekarang sudah 300-an lebih. Padahal awalnya hanya 20 orang, ungkap Yuyun dengan nada bangga. Yang paling membahagiakan, generasi muda sekarang ikut. Bukan sekadar bantu orang tua. Bahkan ada yang masih kelas 5 SD, lho, sudah mahir menenun.


Tembe Nggoli, yang dahulu hanya ditekuni oleh kalangan ibu-ibu, kini menjadi pekerjaan yang menjanjikan bagi remaja SMP dan SMA. Pekerjaan menenun tidak lagi dipandang sebagai rutinitas terpaksa, melainkan sebagai sumber pendapatan yang mampu bersaing.


Yuyun menerapkan sistem bagi hasil yang adil di mana para penenun dapat memperoleh keuntungan lebih dari 60 persen per kain. Bahkan kain paling eksklusif seperti Songket Geliter atau Gelendo Geliter yang bernilai Rp750 ribu, penenun bisa membawa pulang Rp400 ribu. Jika seorang ibu rumah tangga fokus dan mampu membuat 5 lembar kain dalam sebulan, ia bisa meraup pendapatan hingga Rp2 juta, sebuah angka yang signifikan untuk taraf hidup di pedesaan.


Galeri Kecil, Visi Besar

Di tengah kesibukan sebagai seorang ibu tiga anak yang merupakan sebuah peran yang menuntut energi tanpa batas, Yuyun tetap teguh mengembangkan inovasi. Ia sadar bahwa untuk terus memberikan dampak keberlanjutan, warisan harus bertemu dengan modernitas.


Kain-kain tenun artistik berkualitas hasil karya penenun Ntobo di galeri Yuyun. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Pemikiran itu membuatnya memutuskan untuk mendirikan sebuah galeri berukuran 2x6 meter di samping rumahnya. Ruangan sederhana ini bukan sekadar etalase, tetapi menjadi pusat pemberdayaan. Di galeri inilah anak-anak muda dapat mengikuti workshop menenun. Di sini pula Yuyun berkolaborasi dengan akademisi dari berbagai universitas di NTB. Fokus kolaborasi mereka adalah menciptakan zat pewarna alami dan nanopartikel yang lebih tepat digunakan sekaligus ramah lingkungan dan memastikan bahwa tradisi Ntobo tidak merusak alamnya.


Kain Tembe Nggoli yang dihasilkan UKM Dina memiliki ciri khas tersendiri dengan motif-motif alam, seperti kali wori dan mata hara yang dipadukan dengan warna-warna cerah dan kontras, seperti merah, kuning, dan biru yang semuanya diekstrak dari pewarna alami.


Yuyun memahami prosesnya luar dalam. Ia paham bahwa selembar Songket Geliter bisa memakan waktu rata-rata 10 hari, bahkan lebih lama bagi ibu rumah tangga yang juga bertani. Pemahaman yang mendalam ini membuat Yuyun mampu mengelola harapan dan permintaan pasar, dan yang paling penting, menghargai waktu dan kerja keras para penenunnya.


Kain tenun Ntobo Bima dari UKM Dina ikut dipamerkan pada gelaran lomba balap mobil di Mandalika. (Sumber: FB Yuyun Kaen Tenun Bima)


Tak hanya ke Pulau Jawa, Sumatra, atau Sulawesi, produk kain tenun Bima dari UKM Dina juga telah mampu menembus pasar internasional. Kampung Ntobo kini menjadi destinasi wisata live-textile di mana turis datang bukan hanya untuk membeli, tetapi untuk menyaksikan langsung ritme tok-tak, tok-tak yang melahirkan karya seni bercita rasa tinggi.


Apresiasi dan Janji Masa Depan


Yuyun membahas kain tenun Bima bersama Sandiaga Uno. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)


Kisah Yuyun Ahdiyanti ini adalah pelajaran tentang kekuatan dari rasa gelisah yang melahirkan kreativitas dan keberanian. Berbekal naluri ibu yang ingin melihat anak-anak dan tetangganya hidup sejahtera, mereka bergerak bersama mengubah keterbatasan menjadi pemicu perubahan. Ia membuktikan bahwa ijazah tertinggi bukanlah syarat utama untuk menjadi seorang pemimpin ekonomi dan pelestari budaya. Butuh seseorang yang ingin mengubah dengan kemampuan kreatif dan kolaboratif sehingga memberikan terus memberikan dampak positif.


Pengorbanannya tak sia-sia. Yuyun telah menerima serangkaian apresiasi nasional, mulai dari Kelompok Pengrajin Teladan, OVOP Bintang 2 hingga UMKM Inspirator. Puncak pengakuan itu datang pada tahun 2024, ketika ia dianugerahi penghargaan bergengsi SATU Indonesia Awards ke-15 dari PT Astra International Tbk di bidang kewirausahaan atas jasanya mempromosikan Kampung Ntobo hingga ke kancah global.


Yuyun Ahdiyanti menjadi salah satu peraih SATU Indonesia Awards tahun 2024. (Sumber: goodnewsfromindonesia.id


Kisah Yuyun juga menjadi bagian dari keistimewaan kainTembe Nggoli itu sendiri yang menurut Kepala Dinas Pariwisata Kota Bima, M. Natsir, memiliki karakter bahan yang unik: hangat saat dingin dan dingin saat panas.


Yuyun Ahdiyanti telah melakukan hal yang sama untuk kampungnya. Dengan ketekunan dan kegigihannya, ia telah menyelimuti Ntobo dengan kehangatan harapan ekonomi yang akan terus menyala di tengah dingin akan minimnya pengakuan. Yuyun bergerak bersama kaum ibu dan generasi muda Ntobo untukterus membawa harapan berupa nama yang semakin menyejukkan mereka yang semakin diakui keberadaannya di tengah teriknya perjuangan mempertahankan kain tradisi mereka.


Senandung benang di Ntobo kini bukan sekadar nada rutinitas, tetapi juga memiliki harmoni irama pengakuan, kemandirian, dan martabat yang telah terukir pada setiap helai kainnya.

 


#APA2025-PLM