Suryanto dan anak-anak sekolah yang berkunjung di Surya Fish Farm Education. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)

Berawal dari hobi memelihara ikan sejak SD, nyatanya seorang pria asal Yogyakarta bisa meraih penghargaan besar seperti Kalpataru hingga SATU Indonesia Awards. Tentunya bukan sebuah perjalanan yang singkat bagi Suryanto hingga ia bisa meraih dua penghargaan tersebut. 


Sebelumnya, Suryanto adalah seorang penggemar ikan hias yang lalu memulai bisnis jual beli ikan koi. Bahkan ia pun pernah termasuk salah satu penangkap ikan di sungai yang juga menggunakan alat setrum. 

 

Namun lambat laun, Suryanto sadar tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Dari waktu ke waktu, ia lalu melakukan berbagai aksi yang membawa dampak positif bagi sikap masyarakat di sekitarnya terhadap alam, terutama ekosistem sungai.

 

Berawal dari Bisnis hingga Mendirikan Surya Fish Farm Education

 

Saat ini, banyak orang mengenal dan melekatkan Suryanto dengan Surya Fish Farm Education atau SFF Edu yang didirikannya 2015 silam. Namun sebelum ia mendirikan SFF Edu, ternyata Suryanto lebih terkenal sebagai penjual ikan hias koi.

 

Pria asal Pedukuhan Carikan, RT 03 RW 02, Kelurahan Bumirejo Kapanewon Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta ini sejak kecil tinggal di daerah yang dikelilingi sungai. Mulai dari yang berukuran kecil, hingga besar. 

 

Awalnya di tahun 2012, ia melakukan budidaya ikan hias jenis koi. Tak hanya itu, Suryanto juga memberi edukasi kepada para pelanggannya agar bisa memelihara dengan baik. 

 

Usahanya berbisnis ikan koi sambil memberi pengetahuan ke para pembelinya tersebut awalnya membuat ia tidak disukai para pedagang ikan hias lainnya. Namun uniknya, lambat laun caranya itu justru diikuti para penjual ikan hias lainnya. 

 

Selain budidaya ikan hias koi, Suryanto juga mengaku dulu kerap mencari ikan dengan setrum di sungai. Tetapi makin hari ia sadar, cara tersebut bisa merusak keberadaan ekosistem di sungai. 

 

Setelah ia sadar, Suryanto lalu berpikir bagaimana caranya agar masyarakat di sekitarnya juga bisa berhenti dari kebiasaan menangkap ikan dengan cara setrum. Hingga di tahun 2017, momen itu pun datang.

 

Saat itu, marak terjadi pencurian di rumah warga. Suryanto kemudian mengusulkan untuk menghidupkan lagi sistem pos ronda. Sementara itu, kebiasaan warga menangkap ikan dengan cara setrum di sungai pada malam hari juga masih kerap terjadi.

 

Akhirnya sambil melakukan ronda dan berjaga di pos ronda, Suryanto menyisipkan obrolan tentang cara melestarikan sungai dan ikan lokal yang ada di sungai sekitar daerah mereka.

 

Langkahnya dalam berkomunikasi dengan warga akhirnya berhasil. Makin hari, makin sedikit warga yang menangkap ikan dengan cara setrum. Masyarakat di sekitar tempatnya tinggal bahkan bergotong royong membuat papan peringatan larangan mengambil ikan dengan cara setrum. 

 

Cara ini awalnya tentu mendapat penolakan. Dari beberapa papan larangan yang dipasang, sempat ada juga papan-papan yang dirusak. Ia cukup mengerti karena hal tersebut terkait dengan mata pencaharian masyarakat.

 

Tapi Suryanto pantang menyerah. Pelan-pelan, ia terus memberi tahu dan memberi edukasi. “Karena dia itu juga butuh untuk makan, jadi kita juga harus pintar-pintarnya memberi pemahaman pengertian,” ujar Suryanto. 

 

Di tahun 2015, Suryanto kemudian menyisihkan sebagian hasil penjualan ikan koi dari usaha budidayanya  untuk mendirikan SFF Edu. Dari uang yang dimilikinya, ia membangun pendopo, membeli beberapa akuarium, dan membuat beberapa kolam budidaya. Semuanya itu ia pakai sebagai media edukasi untuk mereka yang tertarik dengan budidaya ikan hias.

 

Halaman SFF Edu. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)


Pria yang mengaku hanya lulusan SMA dan tidak punya dasar ilmu formal tentang perikanan ini banyak belajar dari pengamatan sendiri. “Kita memelihara, terus mengetahui karakteristiknya gimana, sama budidayanya,” aku Suryanto. 

 

Ia terus melakukan semua itu degan motivasi karena menyukai lingkungan yang bersih. “Zaman aku dulu waktu masih kecil, banyak alami. Terus waktu dewasa kok banyak sekali kerusakan dan tercemar. Terus aku ingin kembali ke masa-masa dulu seperti itu,” ungkap Suryanto.

 

Edukasi Ikan untuk Kelestarian Lingkungan

 

Tempat tinggal Suryanto yang juga menjadi tempat berdirinya SFF Edu memang cukup asri. Sebagai tempat edukasi dan konservasi, SFF Edu berada di balik teduhnya pepohonan kebun pohon jati, beberapa pohon kelapa, dan pohon mlinjo. 

 

Saat mengunjungi tempat ini, para pengunjung langsung mendengar suara gemericik air dari pompa air di beberapa akuarium berukuran besar. Akuarium-akuarium ini yang terletak di antara pendopo dan rumah tinggal Suryanto. 

 

Sejak awal didirikan, Suryanto membuat slogan untuk SFF Edu, yaitu ‘Edukasi Ikan untuk Kelestarian Lingkungan’. Hingga kini, SFF Edu fokus pada kegiatan edukasi dan konservasi.

 

Di sini, para pengunjung bisa belajar, mengenal, mengidentifikasi ikan lokal dan jenis ikan invasif, cara menangkap ikan yang baik dan benar, cara memelihara, pengetahuan reproduksi ikan, serta cara membudidayakan aneka macam jenis ikan lokal dan asing. SFF Edu juga memberi pengetahuan tentang cara melepasliarkan ikan yang benar agar tidak mengganggu habitat lain yang sudah ada di sungai. Apalagi jika ikan tersebut tergolong ikan predator.

 

Kegiatan identifikasi ikan lokal. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)


“Kita belajar tentang ikan untuk mengetahui tentang jenis jenis ikan terus begitu juga melestarikan ikan ikan yang lokal tentunya,” jelas Suryanto. 

 

Selama ini fokus SFF Edu lebih banyak untuk anak usia sekolah. Ia mengenalkan ikan sebagai cara mendidik untuk menumbuhkan karakter jiwa peduli lingkungan hidup di sekitarnya, cinta sesama makhluk hidup, hingga belajar mencintai kebersihan lingkungan. 

 

Keberadaan SFF Edu pun sebagai wahana edukasi bagi generasi muda. Suryanto menganggap cara ini sebagai jurus jitu untuk dilakukan karena memberi pengetahuan kepada para penerus pelestarian lingkungan yang kelak bertanggung jawab di masa depan. 

 

Di SFF Edu, masyarakat akan diajak mengidentifikasi jenis-jenis ikan lokal termasuk cara memeliharanya, domestikasi, hingga bagaimana cara membudidayakan ikan lokal. 

 

Materi di SFF Edu. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)


Bagi Suryanto sendiri, ikan lokal tak hanya memiliki nilai ekonomis dan sumber pangan. Akan tetapi, keberadaan ikan lokal dapat menjadi alat ukur kelestarian lingkungan hidup terutama kualitas air yang sehat.

 

Awalnya SFF Edu didirikan Suryanto dengan menunjukkan keberadaan ikan-ikan hias. Namun seiring menurunnya populasi ikan lokal yang ada sekitarnya, ia pun menambah koleksi di SFF Edu berupa ikan-ikan lokal.  

 

Ikan lokal yang dimaksud antara lain seperti ikan jenis wader-waderan yaitu wader pari, wader cangkul, wader abang, ikan sepat, ikan betok, ikan betik, serta ikan cupang lokal. Sedangkan ikan red devil atau ikan nila termasuk ikan asing yang asalnya tidak dari daerah tempat Suryanto tinggal.

 

Keberadaan jenis-jenis ikan lokal ini sangat ia perhatikan dan lestarikan. Hal ini dikarenakan maraknya pencarian ikan terutama yang dilakukan secara tidak ramah lingkungan. 

 

“Misalnya seperti racun atau setrum, alatnya yang berbahaya bagi lingkungan. Selain itu masuknya jenis-jenis ikan baru yang bukan habitatnya, yang berasal dari luar negeri atau dari luar daerah kita. Kebanyakan kalau sudah bosen dilepas ke sungai atau dilepasliarkan. Sepatutnya tidak boleh karena nanti bisa menginvansi atau menggeser keberadaan ikan yang asli atau ikan lokal di sekitar kita,” jelas Suryanto. 

 

Dengan belajar tentang ikan, menurut Suryanto, siapapun jadi bisa paham tentang ilmu ekologi yang memelajari hubungan atau interaksi sesama makhluk hidup dengan lingkungan dalam sebuah ekosistem. 

 

Masyarakat juga jadi bisa tahu bagaimana ikan berkembang biak, bagaimana ikan hidup di perairan, mengenal ekosistem perairan, jenis-jenis pohon sebagai pelestari mata air, serta arti pentingnya kebersihan lingkungan.

 

Berbagai Aksi Pelestarian Alam yang Menuai Apresiasi

 

Tak hanya mengedukasi untuk tidak lagi menangkap ikan dengan cara setrum, Suryanto juga memberikan solusi. Langkah ini membuat ia tidak mematikan mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan diri dari kegiatan menangkap ikan dengan cara setrum. 

 

“Alhamdulillah sekarang itu sudah agak tergerak, ataupun sadar gitu tidak lagi menggunakan alat-alat yang berbahaya. Karena itu kan juga ada undang-undangnya yang mengatur seperti itu kan,” tutur Suryanto yang turut menginisiasi penyusunan peraturan tentang larangan perburuan liar. 

 

Ia bersyukur, masyarakat di sekitarnya sudah mulai mencoba membudidayakan jenis-jenis ikan yang asli seperti ikan wader. Tak hanya itu, masyarakat yang memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai juga sudah diarahkan untuk mengolahnya di rumah tangga masing-masing. 

 

“Ya karena kita aktif sosialisasi mungkin mereka juga tergerak untuk melestarikan sungai,” imbuhnya.

 

Suryanto yang mampu menunjukkan cara baru mengkreasikan budidaya ikan-ikan lokal untuk dimanfaatkan lebih luas untuk kesejahteraan masyarakat inipun membuatnya mendapat apresiasi Kalpataru tahun 2021. Ia berhasil meraih juara 1 penerima Kalpataru Tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta untuk kategori Perintis Lingkungan.

 

Memang, sudah banyak hal yang dilakukan oleh Suryanto hingga menggerakan kebiasaan baik di masyarakat tentang pelestarian alam khususnya sungai. Misalnya, ia bisa mengajak bersih sungai secara berkala satu bulan sekali.

 

Selain itu, Suryanto juga pernah membuat buku muatan lokal berjudul ‘Jaga Kaliku’ untuk anak SD. Buku yang berisi tentang pengenalan jenis-jenis ikan lokal ini merupakan hasil kerja sama Dinas Kelautan dan Perikanan, bersama Dinas Pendidikan. 

 

Buku ‘Jaga Kaliku’ (Sumber foto: dkp.kulonprogokab.go.id)

 

Hal yang unik adalah program yang pernah dilakukan Departemen Agama Kabupaten Kulon Progo yang terinspirasi dari gerakan pelestarian ikan lokal yang dilakukan Suryanto. Program tersebut adalah, bagi siapapun yang menikah, pasangan pengantin wajib merilis ikan lokal. 

 

Berbagai kegiatan yang dilakukan pria yang tergabung dalam beberapa komunitas seperti Wild Water Indonesia dan Kelompok Masyarakat Pengawas Pelestari Alam dan Satwa Indonesia atau Pokmaswas Padas ini membuatnya meraih penghargaan dari Astra. Di tahun 2023 lalu, Suryanto berhasil menjadi penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi Yogyakarta di bidang Lingkungan. 

 

Dengan penghargaan tersebut, ia merasa senang karena masyarakat luas bisa peduli terhadap lingkungan, terutama lingkungan sungai. “Yang awalnya tercemar kini bisa menikmati seperti dulu lagi,” ujarnya. 

 

Ia berharap masyarakat bisa menyukai ikan serta memiliki keinginan menjaga dan melestarikan lingkungan perairan yang sehat agar bermanfaat bagi semua makhluk hidup.

 

“Harapannya nggak muluk-muluk, berharap masyakarat Indonesia sadar untuk mengelola lingkungannya sendiri. Kalau nanti lingkungan di sekitar rumah sudah bagus, tidak ada sampah, tidak ada pencemaran, itu akan terlihat. Seluruh wilayah akan bersih. Kita mulai dari lingkungan kita sendiri saja,” pungkasnya. 

 

 Di saat banyak orang bisa begitu mudahnya mengakses buku, baik itu dalam bentuk fisik ataupun di internet, nyatanya, masih ada beberapa daerah di Indonesia yang kesulitan mendapatan kemudahan tersebut. Misalnya saja daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) di Indonesia.


Gerakan Komunitas Sejumi Anak Batas | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi


Salah satu daerah yang termasuk dalam 3T itu adalah Pulau Sebatik. Pulau yang masuk Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara ini memang cukup unik. Secara pemerintahan, pulau ini terbagi dua, sebelah utara merupakan wilayah Malaysia, sedangkan sebelah selatan masuk dalam wilayah Indonesia. 


Anak-anak yang ada pulau ini mengalami kesulitan untuk bisa dengan mudah mengakses buku. Kondisi itulah yang menggerakkan Suprianto Haseng untuk mendirikan Komunitas Sejumi, atau Sejuta Mimpi Anak Batas. 


Dengan komunitas tersebut, Suprianto dan para pemuda lainnya bergerak menyebarkan literasi dari desa ke desa. Komunitas ini membuka lapak pustaka keliling dari desa ke desa yang ada di Pulau Sebatik.


Berawal dari Sulitnya Akses Buku dan Internet


Bisa dibilang, Suprianto merupakan salah satu dari putra daerah Pulau Sebatik yang beruntung bisa berkuliah di Jakarta. Saat kuliah, adik-adik dan pemuda lain di desanya melihat betapa mudahnya Suprianto bisa mengakses buku dan internet.


“Motivasi saya adik-adik saya di perbatasan ini. Mereka bingung di mana mendapatkan buku-buku ini sedang di Sebatik sendiri tidak ada toko buku. Mengharapkan akses internet saja susah,” cerita pria yang lahir di Malaysia dan besar di Pulau Sebatik.


Bahkan Suprianto ingat sewaktu ia berkuliah di Jakarta, setiap hari ia bisa dihubungi oleh adik-adiknya di Sebatik yang meminta dikirimi buku-buku. Di situlah ia dan beberapa pemuda pemudi di Sebatik mulai bergerak. 


“Kalau bukan kita siapa lagi gitu kan. Mengharapkan orang lain juga nggak mungkin,” cetus Suprianto. 


Suprianto Haseng | Sumber foto: Instagram @suprianto_haseng


Karena itulah, ia berinisiatif mengajak teman-temannya untuk mengumpulkan buku-buku layak baca yang lalu dikirimkan ke daerah-daerah. Itulah awal cerita berdirinya Komunitas Sejumi, Sejuta Mimpi Anak Batas. 


Saat itu di awal tahun 2017, saat ia masih berkuliah di Jakarta, Suprianto mendirikan Komunitas Sejumi dan ingin mewujudkan mimpi adik-adiknya di Pulau Sebatik untuk bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak.


Hingga tahun 2020, Suprianto terus melakukan aksi tersebut dengan setiap bulannya mengirimkan buku-buku ke daerah pedalaman Sebatik, juga daerah-daerah lainnya. Aksinya ini banyak didukung oleh PT Pos Indonesia. 


“Pada awalnya sulit menyebarkan seperti itu. Jadi sekitar dua tahun setengah itu kita dibantu PT Pos Indonesia. Karena kita bisa menyebar buku-buku ke wilayah di Indonesia,” ujar Suprianto. 


Penyerahan buku ke staf Kantor Perwakilan Nunukan untuk dibawa ke daerah perbatasan di Nunukan | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi


Buku-buku yang didapat Suprianto selama ini berasal dari para donatur dan juga relawan yang turut membantu. Lantas untuk menampung buku-buku di Sebatik, komunitas ini lalu membuat rumah baca Teras Perbatasan. Di situlah ia dan para relawan fokus melakukan kegiatan bersama anak-anak dan para pemuda di Sebatik yang bergerak untuk menyebarkan buku tersebut.


Rumah Baca Teras Perbatasan di Sebatik | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi



Membuka Cakrawala Baru Melalui Buku 


Uniknya, kegiatan yang dilakukan Komunitas Sejumi tak hanya terpusat pada rumah baca saja. Selain menyebarkan buku-buku ke daerah lain di sekitar Nunukan, komunitas ini juga berkeliling membuka lapak pustaka ke desa-desa yang ada di Sebatik.


Komunitas juga bergerak menyebarkan buku di sekitar Nunukan | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi


“Rumah baca tidak kami fokuskan seperti kayak  pustaka lainnya gitu kan, di mana anak-anak datang ke rumah baca. Enggak, jadi kita yang gerak. Adik-adik ini yang bergerak dari desa-desa bawa buku gitu. Jadi mereka termotivasi,” terang Suprianto.  


Seiring berjalannya waktu, kini komunitas ini sudah bisa mendapatkan buku tanpa harus meminta-minta ke mana-mana. Sedangkan Suprianto sendiri kini lebih aktif melakukan pendampingan ke sekolah-sekolah. 


Suprianto dengan Komunitas Sejumi ini pun akhirnya mendapatkan penghargaan Apresiasi SATU Indonesia Awards pada tahun 2023 di Tingkat Provinsi Kalimantan Utara. 


“Arti penghargaan ini kalau makna bagi saya luar biasa sekali. Apalagi buat adik-adik saya sebenarnya, bukan buat saya  pribadi. Karena kalau bukan karena mereka, gerakan ini tidak akan terwujud,” aku Suprianto. 


Kini ia puas bisa melihat banyak adik-adiknya di Sebatik khususnya dan juga Nunukan bisa tersenyum bahagia dengan kedatangan buku-buku yang ada. Ia berharap ke depannya, bisa lebih banyak lagi teman-teman lain yang ikut bergabung dengan aksi seperti itu. 


Antusiasme anak-anak yang bahagia mendapatkan buku | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi

“Nggak cuma satu daerah, minimal tiap-tiap daerah ada lah seperti itu. Jadi gerakan ini bisa seperti institusi gitu lah. Dan adik-adik juga bisa mewujudkan cita-cita mimpi mereka yang terhambat karena bisa dibilang tidak ada perhatian sama sekali,” pungkas Suprianto. 


Puncak Kirab Maskot Pilkada Jatim 2024


Cuaca panas yang sudah menjadi ciri khas kota Surabaya menjadi tantangan besar yang harus aku taklukkan hari ini. Bagaimana tidak? Jadwal hari ini mestinya aku mengantar anakku si sulung balik ke pondok pesantren. Namun karena tiba-tiba ia masih demam dan batuk pilek terpaksa aku batalkan agenda tersebut. Di saat yang sama aku diundang untuk hadir mengikuti Media Briefing yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum Provinsi Jawa Timur (KPU Jatim). Jadilah aku menyusuri jalan Lamongan-Surabaya dan melintasi jalur “Transformer” di tengah cuaca yang panas kenthang-kentang. Sungguh penuh perjuangan!

Demi apa coba? Yups, tentu saja aku ingin mengikuti rangkaian kemeriahan acara menuju Pilkada Jatim 2024. Sebagai bagian dari media yang mempublikasikan kegiatan pilkada serentak 2024, aku sebagai blogger juga diminta berperan mensosialisasikan penyelenggaraan acara ini. Salah satunya adalah puncak acara Kirab Maskot Pilkada Serentak 2024 di Area Tugu Pahlawan, Surabaya, Rabu (23/10) yang aku ikuti ini.

Seneng Bareng Pilkada Jatim: 39 Maskot Unik Bertemu

Nah, mengapa Kirab Maskot Pilkada Serentak 2024 ini sangat unik dan menarik? Ya, karena ajang ini merupakan salah satu bentuk kreativitas dari KPU Jatim dan KPU kabupaten/kota untuk menyukseskan Pilkada Serentak 2024. Pada kirab yang dilangsungkan sejak pukul 14.30 WIB ini, sebanyak 38 maskot dari seluruh kabupaten/kota di Jatim dipamerkan dalam parade mobil hias; ditambah satu maskot Pilgub Jatim, yaitu Si Jalih sebagai ikon utama.

Ketua KPU Jatim Aang Kunaifi menyebutkan, "Rangkaian kegiatan ini dimulai sejak Juli dengan dilepas di Kabupaten Pacitan dan Kabupaten Sumenep. Setelah melewati berbagai daerah, akhirnya 39 maskot sampai di Surabaya sebagai puncaknya. Kami berharap partisipasi pemilih meningkat melalui kegiatan semacam ini."

Sementara itu, Komisioner KPU Jatim Divisi Sosdiklih dan Parmas Nur Salam menjelaskan acara ini akan berlangsung hingga malam hari dan merupakan bagian dari sosialisasi pendidikan pemilih. 

"Jawa Timur merupakan satu-satunya provinsi yang menggelar kirab maskot ini," ujarnya mantap. Acara tersebut melibatkan sekitar 50 personel dari setiap kabupaten/kota serta seluruh jajaran komisioner dan sekretariat KPU Jatim.

Pada acara media briefing yang aku ikuti kali ini, ada pula ajakan dari Miftahur Rozaq (Komisioner KPU Jatim Divisi Perencanaan dan Logistik) bagi media untuk meliput kunjungan ke pabrik kertas PT Temprina di Gresik yang menjadi pemenang pencetak ketas suara untuk Pilkada Jawa Timur.

Puncak Kirab Pecahkan Rekor MURI

Kirab maskot ini melewati rute dari Tugu Pahlawan, Jalan Genteng Kali, Jalan Tunjungan, hingga Jalan Gubernur Suryo sebagai rute terakhir. Para personel dari tiap kabupaten/kota juga turut menampilkan defile kostum atraktif ala karnaval membawakan kesenian daerah masing-masing pada malam hari. Defile berkeliling dari Jalan Rajawali, Jembatan Merah, hingga Jalan Kebon Rojo.

Acara juga diisi dengan penyerahan maskot dan deklarasi Pilkada Damai yang berlangsung di Monumen Tugu Pahlawan sebagai simbol harapan pemilu yang damai dan sukses. Hal yang tak kalah menarik adalah Kirab Maskot Pilkada Serentak Jawa Timur 2024 yang digagas oleh KPU Jatim ini berhasil memecahkan rekor MURI loh!

Pelepasan Kirab 39 Maskot Pilkada Jatim oleh anggota KPU di kawasan Tugu Pahlawan (23/10/2024)

Rekor ini mencatat bahwa Kirab Maskot Pilkada Serentak 2024 sebagai Kirab Maskot terpanjang karena melewati 38 kabupaten/kota, 666 kecamatan, 777 kelurahan, dan 7724 desa se-Jawa Timur. Wow!

Penganugerahan ini diserahkan pada malam puncak Kirab Maskot Pilkada Serentak 2024 di Tugu Pahlawan Surabaya sekaligus memeriahkan pesta rakyat. Acara ini disemarakkan dengan berbagai hiburan seperti fashion carnival, barongsai, reog, serta pertunjukan seni budaya khas dari berbagai daerah di Jawa Timur. Puncaknya, ribuan warga terhibur oleh penampilan NDX A.K.A yang membuai penonton dengan lagu hip-hop ala Jawa yang simpel tapi memikat.  

 

Beberapa kurun waktu terakhir, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Kemenparekraf sedang gencar berusaha untuk mengangkat keberadaan desa wisata sebagai magnet wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Dengan mengunjungi desa wisata, para wisatawan bisa melihat keunikan kehidupan masyarakat yang memiliki cara atau tradisi tertentu. 


Reza Permadi, CEO PT Atourin Teknologi Nusantara. (Sumber foto: Instagram @repermadi)


Dalam sebuah desa wisata, biasanya ada kesinambungan antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang melibatkan masyarakat di desa tersebut. Oleh karena itulah, Kemenparekraf berharap keberadaan desa wisata mampu dapat sekaligus mengangkat taraf perekonomian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia.


Ada satu peluang dan kebutuhan yang lantas dilihat oleh Reza Permadi dengan makin banyaknya desa wisata di Indonesia, yaitu perihal teknologi. Ia berharap, digitalisasi desa wisata dapat lebih mendatangkan wisatawan. Menyadari hal ini, ia dan beberapa temannya kemudian mendirikan PT Atourin Teknologi Nusantara yang mengajak para pengelola desa wisata untuk berkolaborasi untuk menyosong wisata berkelanjutan di Indonesia.

 

Aplikasi Sebagai Solusi Para Penyelenggara Desa Pariwisata


Menurut Reza, ide awal atau inspirasi Atourin Visitors Management System atau VMS yang digagas olehnya ini berawal dari pengalamannya saat sering mendampingi desa-desa wisata. 


“Kemudian dari situ kami lihat desa wisata itu bagus masyarakatnya segala macamnya, tapi kita lihat ternyata apa sih yang kurang adalah bagaimana mereka didokumentasi,” tutur Reza. 


Jadi menurut Reza, ketika ada orang wisatawan datang, sayangnya tidak tercatat siapa namanya, berapa nomor hpnya, atau emailnya. Kemudian tidak ada juga catatan berapa jumlah wisatawan yang datang ke desa wisata tersebut. 


Kemudian, salah satu hal yang Reza lihat pula adalah kurangnya strategi pemasaran. Misalnya, para pengelola desa wisata ini punya homestay atau ada juga yang punya aktivitas di sawah, tetapi mereka tidak tahu caranya mengundang para wisatawan untuk datang. 


“Jualnya masih banyak yang bingung. Nah, berangkat dari situ, sebagai pendamping desa wisata, ada kekurangan seperti itu, makanya melalui Atourin, kami bikin sistem yang namanya Atourin Visitors Management System atau VMS,” jelas Reza. 


Ia bekerja sama dengan timnya di Atourin meskipun, uniknya, Reza mengaku tidak punya latar belakang pendidikan formal yang khusus di bidang teknologi. Untuk menggagas sistem di Atourin, ia banyak belajar dari kursus atau video-video di Youtube. 


Semua berawal saat ia menempuh S2 yang fokus belajar tentang Sustainable Tourism. Dari sanalah ia lantas belajar teknologi dan sering berkumpul serta berkomunikasi dengan orang-orang yang paham teknologi sehingga hingga akhirnya ia punya ide dan lantas diwujudkannya bersama teman-temannya pada Desember 2019.


Respon terhadap Atourin bagus karena menyelesaikan masalah di mereka. Kita membantu mereka, tapi kami menyebutnya sebagai kolaborasi. Yuk, kita kolaborasi. Kami punya teknologi ini, kamu punya kendala ini. Coba aja beberapa bulan dulu deh, kalau misalkan oke. Makanya kita buktiinnya kan dengan selalu mendatangkan wisatawan ke mereka,” ungkap Reza.


Aplikasi Atourin ini sendiri bisa didapatkan di Google Play atau AppStore. Bentuknya berupa marketplace jual beli produk pariwisata, misalnya paket wisata dua hari satu malam ke Karimunjawa, homestay, dan lain sebagainya. 


Laman Atourin. (Sumber foto: www.atourin.com)


“Kita fokus salah satunya adalah desa wisata. Teman-teman di desa wisata biasanya punya pengelolanya, yaitu anak-anak muda atau yang kita sebut Pokdarwis atau Kelompok Sadar Wisata. Mereka lantas bisa berjualan di aplikasi Atourin,” terang Reza.

 

Ia berharap, Atourin sebagai sistem teknologi bisa membantu mewujudkan desa wisata yang berkelanjutan yang selama ini diimpikan banyak orang dan bahkan menjadi slogan atau jargon. 


Bersama Atourin, Reza mengurasi paket-paket desa wisata yang ada sehingga langkah ini bisa membuat paket yang dibeli wisatawan menjadi tepercaya. 


Di aplikasi Atourin, para wisatawan bisa berpeluang mendapatkan voucher atau insentif untuk wisatawan. Nominalnya mulai dari 50 ribu, 100 ribu hingga 150 ribu. 


“Kita sering kasih insentif-insentif seperti itu. Insentif ini hasil patungan. Kita kerja sama dengan pemerintah untuk mendukung orang-orang melakukan perjalanan ke desa wisata.”

 

Dua Tantangan yang Dihadapi Atourin Saat Ini


Selama menjalankan teknologi Atourin serta kolaborasi dengan para pelaku penyelenggara desa wisata, setidaknya ada dua tantangan menurut Reza yang hingga kini ia hadapi. 


Tantangan yang pertama adalah sumber daya manusia. Dan ini adalah tantangan yang menurut Reza tidak ia bayangkan sebelumnya. “Jadi udah punya sistem kerja sama tuh nggak semudah kolaborasi yang saya bayangkan. Karena kalau kita bicara teknologi digitalisasi, otomatis semua akan transparan. Semua catatan keuangan, berapa jumlah wisatawan yang datang.”


Fakta yang terkadang Reza dapatkan saat di lapangan adalah ada banyak tempat wisata yang tidak mau transparan. SDM yang ada menurutnya masih belum bisa menerima tranparansi.


Padahal maksud Reza, dengan teknologi Atourin, mereka ingin menggantikan tiket karcis yang selama ini berbentuk tiket kertas. “Karena lumayan kan mengurangi sampah kertas dari karcis kertas gitu. Kalau dengan VMS kan elektronik semuanya,” imbuh Reza. 


Selain kendala SDM, masalah lain yang masih ia hadapi saat ini adalah infrastuktur internet yang kurang mendukung di daerah-daerah 3T atau Tertinggal, Terdepan, dan Terluar. 


Saat Atourin menjalin kemitraan dengan desa wisata di daerah-daerah 3T, ia menemukan kendala adanya blank spot alias tidak adanya jaringan internet di daerah tersebut.


Untuk mengatasi hal tersebut, Reza bersama Atourin akhirnya menjalin kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait. “Kita coba mapping kira-kira mana saja sih blank spot dan jadi kebutuhan untuk parisiwata.”


Misalnya saat Reza mengunjungi Ternate. Ada beberapa desa wisata yang blank spot dengan kondisi internet di edge. Bahkan ada juga yang benar-benar tidak ada sinyal sama sekali. Ia mengaku, infrastruktur internet selama ini memang masih belum menyeluruh. Masih banyak masyarakat di daerah 3T yang masih belum bisa menikmati internet. 


“Masih belum bisa belanja online mereka di sana,” guyon Reza.


Reza Permadi saat mengunjungi salah satu desa wisata di Indonesa. (Sumber foto: Instagram @repermadi)


Ke depan nanti, Reza menargetkan makin banyak desa wisata yang bisa menjalin kolaborasi dengan Atourin. Hingga kini, baru seratusan desa wisata yang berkolaborasi dengannya. 


Sementara itu, saat ini ada 74 ribu sekian desa wisata yang tersebar di Indonesia. “Kalau data dari Kementerian Parisiwata dan Ekonomi Kreatif, dari 74 ribu itu ada sekitar 4.500-an desa wisata yang terdaftar di website kemenparekraf. Target kami di Atourin tahun 2030, pengen ada 4.500 desa wisata ini sudah berkolaborasi dengan Atourin dengan menggunakan sistem VMS tadi. Supaya kita bisa menyongsong pariwisata berkelanjutan salah satunya melalui fitur teknologi.” 

 

Berakselerasi dengan Lebih Cepat lewat SATU Indonesia Awards


Apa yang dilakukan Reza bersama Atourin ini akhirnya membuat ia meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 mewakili Provinsi DKI Jakarta dalam bidang teknologi. 


Reza Permadi menerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2023. (Sumber foto: Instagram @repermadi)


Ia sendiri mengaku awalnya tidak menyangka dapat meraih penghargaan tersebut. Apalagi menurutnya prosesnya cukup ketat. “Didatengin ke kantor, didatengin ke tempat mitra, harus dicek verifikasinya, interviewnya beberapa kali, presentasi ke jurinya juga bukan sembarangan,” tutur Reza.


Ia tak menyangka bisa berhadapan dengan orang-orang hebat yang menjadi juri di ajang tersebut, seperti Profesor Emil Salim, Profesor Nila Moeloek hingga Dian Sastro.


Penghargaan ini menurutnya memiliki makna bagi banyak anak muda agar jadi tergugah melakukan hal-hal yang lebih. Reza sendiri mengaku, ia jadi memiliki target-target, seperti akselerasi yang menjadi lebih cepat setelah ia menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards.