Beberapa kurun waktu terakhir, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Kemenparekraf sedang gencar berusaha untuk mengangkat keberadaan desa wisata sebagai magnet wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Dengan mengunjungi desa wisata, para wisatawan bisa melihat keunikan kehidupan masyarakat yang memiliki cara atau tradisi tertentu. 


Reza Permadi, CEO PT Atourin Teknologi Nusantara. (Sumber foto: Instagram @repermadi)


Dalam sebuah desa wisata, biasanya ada kesinambungan antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang melibatkan masyarakat di desa tersebut. Oleh karena itulah, Kemenparekraf berharap keberadaan desa wisata mampu dapat sekaligus mengangkat taraf perekonomian masyarakat di beberapa daerah di Indonesia.


Ada satu peluang dan kebutuhan yang lantas dilihat oleh Reza Permadi dengan makin banyaknya desa wisata di Indonesia, yaitu perihal teknologi. Ia berharap, digitalisasi desa wisata dapat lebih mendatangkan wisatawan. Menyadari hal ini, ia dan beberapa temannya kemudian mendirikan PT Atourin Teknologi Nusantara yang mengajak para pengelola desa wisata untuk berkolaborasi untuk menyosong wisata berkelanjutan di Indonesia.

 

Aplikasi Sebagai Solusi Para Penyelenggara Desa Pariwisata


Menurut Reza, ide awal atau inspirasi Atourin Visitors Management System atau VMS yang digagas olehnya ini berawal dari pengalamannya saat sering mendampingi desa-desa wisata. 


“Kemudian dari situ kami lihat desa wisata itu bagus masyarakatnya segala macamnya, tapi kita lihat ternyata apa sih yang kurang adalah bagaimana mereka didokumentasi,” tutur Reza. 


Jadi menurut Reza, ketika ada orang wisatawan datang, sayangnya tidak tercatat siapa namanya, berapa nomor hpnya, atau emailnya. Kemudian tidak ada juga catatan berapa jumlah wisatawan yang datang ke desa wisata tersebut. 


Kemudian, salah satu hal yang Reza lihat pula adalah kurangnya strategi pemasaran. Misalnya, para pengelola desa wisata ini punya homestay atau ada juga yang punya aktivitas di sawah, tetapi mereka tidak tahu caranya mengundang para wisatawan untuk datang. 


“Jualnya masih banyak yang bingung. Nah, berangkat dari situ, sebagai pendamping desa wisata, ada kekurangan seperti itu, makanya melalui Atourin, kami bikin sistem yang namanya Atourin Visitors Management System atau VMS,” jelas Reza. 


Ia bekerja sama dengan timnya di Atourin meskipun, uniknya, Reza mengaku tidak punya latar belakang pendidikan formal yang khusus di bidang teknologi. Untuk menggagas sistem di Atourin, ia banyak belajar dari kursus atau video-video di Youtube. 


Semua berawal saat ia menempuh S2 yang fokus belajar tentang Sustainable Tourism. Dari sanalah ia lantas belajar teknologi dan sering berkumpul serta berkomunikasi dengan orang-orang yang paham teknologi sehingga hingga akhirnya ia punya ide dan lantas diwujudkannya bersama teman-temannya pada Desember 2019.


Respon terhadap Atourin bagus karena menyelesaikan masalah di mereka. Kita membantu mereka, tapi kami menyebutnya sebagai kolaborasi. Yuk, kita kolaborasi. Kami punya teknologi ini, kamu punya kendala ini. Coba aja beberapa bulan dulu deh, kalau misalkan oke. Makanya kita buktiinnya kan dengan selalu mendatangkan wisatawan ke mereka,” ungkap Reza.


Aplikasi Atourin ini sendiri bisa didapatkan di Google Play atau AppStore. Bentuknya berupa marketplace jual beli produk pariwisata, misalnya paket wisata dua hari satu malam ke Karimunjawa, homestay, dan lain sebagainya. 


Laman Atourin. (Sumber foto: www.atourin.com)


“Kita fokus salah satunya adalah desa wisata. Teman-teman di desa wisata biasanya punya pengelolanya, yaitu anak-anak muda atau yang kita sebut Pokdarwis atau Kelompok Sadar Wisata. Mereka lantas bisa berjualan di aplikasi Atourin,” terang Reza.

 

Ia berharap, Atourin sebagai sistem teknologi bisa membantu mewujudkan desa wisata yang berkelanjutan yang selama ini diimpikan banyak orang dan bahkan menjadi slogan atau jargon. 


Bersama Atourin, Reza mengurasi paket-paket desa wisata yang ada sehingga langkah ini bisa membuat paket yang dibeli wisatawan menjadi tepercaya. 


Di aplikasi Atourin, para wisatawan bisa berpeluang mendapatkan voucher atau insentif untuk wisatawan. Nominalnya mulai dari 50 ribu, 100 ribu hingga 150 ribu. 


“Kita sering kasih insentif-insentif seperti itu. Insentif ini hasil patungan. Kita kerja sama dengan pemerintah untuk mendukung orang-orang melakukan perjalanan ke desa wisata.”

 

Dua Tantangan yang Dihadapi Atourin Saat Ini


Selama menjalankan teknologi Atourin serta kolaborasi dengan para pelaku penyelenggara desa wisata, setidaknya ada dua tantangan menurut Reza yang hingga kini ia hadapi. 


Tantangan yang pertama adalah sumber daya manusia. Dan ini adalah tantangan yang menurut Reza tidak ia bayangkan sebelumnya. “Jadi udah punya sistem kerja sama tuh nggak semudah kolaborasi yang saya bayangkan. Karena kalau kita bicara teknologi digitalisasi, otomatis semua akan transparan. Semua catatan keuangan, berapa jumlah wisatawan yang datang.”


Fakta yang terkadang Reza dapatkan saat di lapangan adalah ada banyak tempat wisata yang tidak mau transparan. SDM yang ada menurutnya masih belum bisa menerima tranparansi.


Padahal maksud Reza, dengan teknologi Atourin, mereka ingin menggantikan tiket karcis yang selama ini berbentuk tiket kertas. “Karena lumayan kan mengurangi sampah kertas dari karcis kertas gitu. Kalau dengan VMS kan elektronik semuanya,” imbuh Reza. 


Selain kendala SDM, masalah lain yang masih ia hadapi saat ini adalah infrastuktur internet yang kurang mendukung di daerah-daerah 3T atau Tertinggal, Terdepan, dan Terluar. 


Saat Atourin menjalin kemitraan dengan desa wisata di daerah-daerah 3T, ia menemukan kendala adanya blank spot alias tidak adanya jaringan internet di daerah tersebut.


Untuk mengatasi hal tersebut, Reza bersama Atourin akhirnya menjalin kerja sama dengan kementerian dan lembaga terkait. “Kita coba mapping kira-kira mana saja sih blank spot dan jadi kebutuhan untuk parisiwata.”


Misalnya saat Reza mengunjungi Ternate. Ada beberapa desa wisata yang blank spot dengan kondisi internet di edge. Bahkan ada juga yang benar-benar tidak ada sinyal sama sekali. Ia mengaku, infrastruktur internet selama ini memang masih belum menyeluruh. Masih banyak masyarakat di daerah 3T yang masih belum bisa menikmati internet. 


“Masih belum bisa belanja online mereka di sana,” guyon Reza.


Reza Permadi saat mengunjungi salah satu desa wisata di Indonesa. (Sumber foto: Instagram @repermadi)


Ke depan nanti, Reza menargetkan makin banyak desa wisata yang bisa menjalin kolaborasi dengan Atourin. Hingga kini, baru seratusan desa wisata yang berkolaborasi dengannya. 


Sementara itu, saat ini ada 74 ribu sekian desa wisata yang tersebar di Indonesia. “Kalau data dari Kementerian Parisiwata dan Ekonomi Kreatif, dari 74 ribu itu ada sekitar 4.500-an desa wisata yang terdaftar di website kemenparekraf. Target kami di Atourin tahun 2030, pengen ada 4.500 desa wisata ini sudah berkolaborasi dengan Atourin dengan menggunakan sistem VMS tadi. Supaya kita bisa menyongsong pariwisata berkelanjutan salah satunya melalui fitur teknologi.” 

 

Berakselerasi dengan Lebih Cepat lewat SATU Indonesia Awards


Apa yang dilakukan Reza bersama Atourin ini akhirnya membuat ia meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2023 mewakili Provinsi DKI Jakarta dalam bidang teknologi. 


Reza Permadi menerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2023. (Sumber foto: Instagram @repermadi)


Ia sendiri mengaku awalnya tidak menyangka dapat meraih penghargaan tersebut. Apalagi menurutnya prosesnya cukup ketat. “Didatengin ke kantor, didatengin ke tempat mitra, harus dicek verifikasinya, interviewnya beberapa kali, presentasi ke jurinya juga bukan sembarangan,” tutur Reza.


Ia tak menyangka bisa berhadapan dengan orang-orang hebat yang menjadi juri di ajang tersebut, seperti Profesor Emil Salim, Profesor Nila Moeloek hingga Dian Sastro.


Penghargaan ini menurutnya memiliki makna bagi banyak anak muda agar jadi tergugah melakukan hal-hal yang lebih. Reza sendiri mengaku, ia jadi memiliki target-target, seperti akselerasi yang menjadi lebih cepat setelah ia menerima Apresiasi SATU Indonesia Awards. 

Pernahkah terpikir mengatasi masalah sampah dengan sampah? Ide cemerlang itulah yang melekat pada Plepah. Produk kemasan ramah lingkungan yang digagas oleh Rengkuh Banyu Mahandaru ini memanfaatkan pelepah pohon pinang yang dianggap menjadi sampah pertanian.

Produk Plepah yang bisa digunakan sebagai wadah makanan. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Dengan teknologi yang ia rancang sendiri, pelepah-pelepah pinang yang sebelumnya terbuang begitu saja dan dianggap sebagai sampah oleh para petani, nyatanya bisa diolah menjadi wadah makanan yang ramah lingkungan.


Uniknya, ide membuat wadah makanan yang mudah terurai di alam ini muncul saat Rengkuh sedang menyelam di sebuah area menyelam di Indonesia. Bukannya aneka macam ikan yang didapati, ia malah menemukan banyak sampah styrofoam box dan sampah plastik lainnya di area menyelam tersebut.


Pelajaran dan Kesadaran tentang Sampah dari India

Suatu ketika di tahun 2018, Rengkuh pernah mengunjungi negara India, tepatnya ke daerah Jaypur. Di sana, ia terinspirasi dengan mangkuk dari dedaunan tanaman endemik. Wujudnya seperti daun jati yang dikeringkan.


Perjalanan Rengkuh ke Jaypur India pada tahun 2018 silam. (Sumber foto: Instagram @rengkuhbanyu)


Rengkuh pun tertarik dengan keberadaan tumpukan sampah di India yang organik semua serta bisa dikompos. Di sepanjang jalan yang ia temui, banyak tempat-tempat dekomposter sampah organik di pinggir jalan.


Fenomena ini membuatnya teringat dengan kebiasaan masyarakat tradisional Indonesia yang juga sering memanfaatkan daun jati atau daun pisang untuk membungkus makanan.


Dari sinilah Rengkuh lantas mulai berpikir tentang kondisi pengolahan sampah di Indonesia. Memang, Indonesia belum bisa menjadi seperti negara-negara di Eropa yang bisa mengatasi masalah sampah dengan lebih sistemik. Misalnya mulai dari pengolahan limbah, pengangkutan sampah, kebiasaan masyarakat sadar tentang sampah, atau yang lainnya.


Dengan India, Indonesia memiliki kemiripan dalam hal kebiasaan masyarakatnya dalam membuat sampah. Hanya saja bedanya, masyarakat India masih cukup banyak yang menggunakan daun sebagai wadah pembungkus makanan serta mudahnya menemukan keberadaan tempat sampah dekomposter. Sementara di Indonesia, sudah banyak masyarakat yang memilih menggunakan plastik atau styrofoam sebagai wadah pembungkus makanan karena dianggap lebih praktis.


Daun sebagai pembungkus makanan, seperti daun jati atau daun pisang dianggap memiliki banyak kekurangan. Misalnya, sering mudah robek dan kurang fungsional.


Makanannya Satu, Bungkusnya Lima

Di tahun 2018 sebelum memiliki usaha Plepah, Rengkuh bekerja di sebuah kantor yang ada di Jakarta. Saat jam istirahat, ia kerap memesan makanan lewat aplikasi online yang menawarkan pengantaran makanan.


Satu makanan saja yang ia pesan, kemasannya bisa sampai lima wadah. Contohnya, jika ia pesan satu porsi ayam geprek, ia akan mendapati hasil pesanannya berupa satu wadah nasi sendiri, ayam yang dipisah, sambal yang juga dibungkus terpisah, dan yang lainnya.


Banyak makanan khas Indonesia yang terdiri dari beberapa item dalam satu porsi makanan. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Sebelumnya, hal tersebut tidak menjadi masalah buat Rengkuh. Sampai di kemudian hari, ia terhenyak begitu melihat tumpukan sampah styrofoam box dan sampah plastik lainnya di sebuah area diving di Indonesia yang sedang ia selami.


“Kayaknya bisa dikulik sesuatu untuk menjadi alternatif dari masalah ini,” begitu batin Rengkuh.


Karena latar belakang keilmuan yang Rengkuh miliki adalah desain produk, jadilah pendekatan itu juga yang digunakannya untuk mendesain dan menciptakan produk yang cukup fungsional, tapi nyaman untuk dlihat dan dipegang.


Tahun 2018 bisa dibilang menjadi tahun penuh makna bagi Rengkuh. Perjalanannya saat menyelam yang membuatnya sadar tentang kondisi sampah di Indonesia yang memprihatinkan serta perjalanannya ke India yang membuat ia bisa melihat fenomena pemanfaatan dan pengolahan sampah, semua itu membuatnya memulai usaha Plepah juga di tahun tersebut.


Keistimewaan Pelepah Pinang sebagai Wadah Makanan

Dari sekian bahan alam yang begitu kaya di Indonesia, pilihan Rengkuh jatuh pada pelepah pinang untuk diolah menjadi produk yang diharapkan mampu memberi solusi terhadap masalah sampah.


Di daerah Sumatra sendiri, pohon pinang menjadi komoditas pertanian dengan bagian buah yang diambil untuk dijual. Rata-rata para petani di sana memiliki lahan pohon pinang yang bisa hampir dua hektar luasnya.


Sedangkan pelepah dari pohon ini sendiri sebenarnya limbah pertanian atau sampah dari hasil panen. Dalam sebulan, pelepah pinang bisa jatuh dengan sendirinya sebanyak dua hingga tiga kali.


Menurut Rengkuh, pelepah pinang bisa didesain secara aestetik karena memiliki ketebalan dan karakter material yang cukup kuat. “Bisa diolah secara desain dan bentuknya. Tidak perlu teknologi yang susah,” ujar Rengkuh.


Dalam prosesnya, pelepah pinang yang ada tinggal dicuci atau disterilkan, di-steam biar lebih lentur, dicetak dengan mesin press yang didesainnya sendiri, dan disterilkan lagi.


Banyu membuat mesinnya sendiri. Ia menggunakan teknologi tertentu yang kemudian disesuaikan dengan karakter materialnya. Jadi seperti mengolah bahan dari plastik, tapi materialnya diganti menjadi pelepah pinang.


Salah satu proses dalam pengolahan limbah pelepah pinang (Sumber foto: Instagram @rengkuhbanyu)


Kelebihan lainnya, pelepah pinang ini tahan untuk dimasukkan ke microwave. Bahkan, ini bisa juga dipakai berulang hingga sekitar dua atau tiga kali. Namun Banyu sendiri lebih menyarankan untuk menggunakan Plepah dalam sekali pakai.


Usai digunakan, Plepah bisa langsung di-compose. Jika dibuang di tanah, Plepah bisa terurai selama maksimal kurang lebih 60 hari.


Bermimpi Menyelesaikan Masalah dengan Limbah Pertanian

Hingga kini, usaha Plepah yang digagas Rengkuh makin hari makin berkembang. Ada tiga pabrik dari Plepah. Awalnya, ia mendirikan pabrik di Sumatra Selatan dan Jambi. Ia sengaja membangun pabrik-pabrik di desa karena dekat dengan bahan baku sehingga meminimalisasi jejak karbon.


Pak Asnawi, salah satu petani pohon pinang dari daerah Teluk Kulbi, Jambi. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Namun karena kebutuhan pemasaran di Jakarta, akhirnya pabrik Plepah juga didirikan di Cibinong, Bogor. Saat ini produksi Plepah sudah mencapai angka 120 hingga 150 pieces per bulan.


Untuk di Indonesia sendiri, Plepah lebih banyak digunakan dan dipasarkan di daerah Jakarta dan Bali, sedangkan untuk ekspor ke luar negeri, jangkauan Plepah sudah ada hingga Jerman dan Australia.


Harga per-pieces dari Plepah sendiri hingga kini sekitar 2.500 hingga 3 ribu rupiah, tergantung ukuran. Rengkuh mengaku, tantangan yang dihadapinya saat ini adalah menurunkan harga secepat-cepatnya. Apalagi harga styrofoam sendiri sangat jauh murah sehingga lebih dipilih kebanyakan masyarakat.


Kini, ia dan kawan-kawannya terus bermimpi bisa memanfaatkan material-material, misalnya dari limbah pertanian sehingga bisa memiliki nilai ekonomi.


“Di sisi lain sebetulnya banyak permasalah-permasalahan yang bisa diselesaikan dengan limbah pertanian ini. Apalagi Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Kita hari ini sedang mengembangkan alternatif untuk mengurangi penggunaan batubara atau pembangkit listrik yang menggunakan batubara dengan bio massa,” Rengkuh menerangkan mimpi dan harapannya saat ini.


Ia berharap kelak penggunaan limbah pertanian yang ke depannya bisa memberikan dampak ekonomi serta dampak positif pada masyarakat dan juga terhadap lingkungan.


Atas inovasinya yang mampu mengolah limbah menjadi produk yang ramah lingkungan dan bisa menjadi salah satu solusi masalah sampah, maka pada tahun 2023, Rengkuh dan Plepah berhasil meraih penghargaan SATU Indonesia Awards untuk kategori kelompok pejuang lingkungan.


Ia mengaku, ada beberapa keuntungan yang ia rasakan saat meraih penghargaan tersebut. Misalnya, ia bisa mendapatkan modal untuk riset yang kemudian ia pakai untuk mewujudkan mimpi-mimpinya mengolah sampah pertanian menjadi produk dengan nilai ekonomi.


Selain itu, ajang SATU Indonesia Awards juga bisa membuatnya bertemu juri yang memberikan pandangan atau masukan untuk pengembangan produk. Ia juga jadi bisa menambah jaringan yang berkontribusi bagi tumbuh kembang produk Plepah ini.

 

Berhubung agenda debat calon gubernur Jawa Timur sudah sangat dekat, maka pada hari Kamis, 17 Oktober 2024 sore, KPU Jawa Timur kembali mengundang pihak media, termasuk kami para blogger dalam kegiatan Media Briefing, Persiapan Debat Publik antara Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kesatu.


Nur Salam, komisioner KPU Jatim Div. Sosdiklih dan Parmas dalam media briefing di Graha Unesa Kamis (17/10)


Meski kereta yang saya tumpangi telat tiba dan dihadang oleh kemacetan menuju venue, yakni Graha UNESA, Surabaya, tetapi saya tetap antusias hadir untuk mengetahui sejauh mana progres persiapan acara Pilgub Jatim yang dilakukan oleh KPU Jatim, khususnya mengenai siapa saja yang akan diundang sebagai panelis, tema khusus yang diangkat, dan teknis acara debat yang diselenggarakan pada Jumat, 18 Oktober 2024.

Semua Panelis dari Kalangan Akademisi


Ketiga pasangan Cagub dan Wagub Jawa yakni Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim, Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elestianto Dardak, dan Tri Rismaharini dan KH Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans) akan mengikuti debat publik perdana yang bakal digelar di Garaha Unesa, lantai 4 mulai pukul 19.30 dan disiarkan secara langsung oleh Kompas TV dan TVRI.


Nur Salam selaku Komisioner Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU Jatim menjelaskan bahwa para panelis yang dihadirkan dalam debat besok harus memiliki tiga unsur kepakaran atau ahli dalam bidangnya, meliputi akademisi, profesional, dan tokoh masyarakat. Namun rapat pleno KPU memutuskan bahwa ketujuh panelis yang akan dihadirkan pada debat perdana ini semuanya berasal dari kalangan akademisi dengan alasan keilmuan dan independensi.


Para panelis debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon yang ditunjuk tersebut harus memenuhi kualifikasi, di antaranya mempunyai integritas, jujur, simpatik, bersikap netral serta tidak memihak kepada calon pasangan dan/atau tim kampanye pasangan calon. Oleh karena itu, tim perumus moderator dan panelis wajib menandatangani pakta integritas yang disiapkan oleh KPU Provinsi dan KPU kabupaten/Kota.


Adapun nama-nama panelis debat publik kali ini adalah sebagai berikut.


1. Prof. Dr. H. Achmad Muhibin Zuhri, M.Ag. (Ahli Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah & Keguruan, UIN Sunan Ampel Surabaya).


2. Prof. Dr. Drs. Ec. H. Muhammad Syarif, M.Si, CMA, CRA. (Ahli Management, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Trunojoyo Madura).


3. Adhitya Wardhono, S.E., M.Si., M.Sc., Ph.D. (Ahli Ekonomi Pembangunan, Fakultas aekonomi dan Bisnis Universitas Jember).


4. Dr. Sasongko Budisusetyo, CPA., CPMA. (Ahli Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hayam Wuruk Perbanas Surabaya).


5. Dr. Ahmad Imron Rozuli, SE., M.Si. (Ahli Sosiologi Ekonomi dan Kelembagaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya).


6. dr. Hidayatullah, Sp. N. (Ahli Kesehatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Maarif Hasyim Latif Sidoarjo).


7. Dr. Rina Wahyu Setyaningrum, M.Ed. (Ahli Pendidikan Bahasa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang).


Para panelis ini sengaja diumumkan pada H-1 sebelum pelaksanaan debat. Tujuannya adalah agar mereka tidak terganggu pekerjaannya sekaligus menjaga kerahasiaan di mana lokasi para panelis tersebut berada saat ini sehingga mereka bisa tetap fokus pada tugasnya. Meski demikian, informasi mengenai tema debat dan daftar panelis telah diinformasikan kepada tim kampanye para paslon sejak H-3.

Tempat dan Teknis Debat Pilgub Jatim 2024


Dalam Media Briefing ini, KPU Jawa Timur yang diwakili Pak Nur Salam juga menginformasikan bahwa acara yang semula direncanakan berlangsung di Dyandra Convention Center terpaksa dialihkan ke Graha Unesa, Jl. Citra Raya Laskarsantri Lidah Wetan, Surabaya karena tempat tersebut telah terikat kontrak dengan pihak lain.


Graha Unesa dipilih karena terbilang cukup representatif dan telah dikomunikasikan dengan para paslon. Debat perdana cagub dan cawagub Jatim 2024 yang mengusung tema utama "Transformasi Sosial dan Peningkatan Produktivitas Sumber Daya Lokal Untuk Kesejahteraan Masyarakat Jawa Timur" akan dibagi ke dalam beberapa subtema, yaitu

  • Daya Saing dan Nilai Tambah Ekonomi,
  • Pendidikan,
  • Kesehatan,
  • Demografi, Kemiskinan, dan Kesenjangan,
  • Masyarakat Digital,
  • Ketahanan Sosial, dan
  • Penguatan Budaya dan Identitas Lokal.

Melihat tema yang terkait dengan integrasi keanekaragaman budaya di Jawa Timur ini, maka pada acara debat perdana ini para paslon diminta menggunakan kostum adat budaya yang ada di Jawa Timur. 


“Ini mencerminkan kekayaan budaya yang dimiliki Provinsi Jawa Timur. Kostum budaya boleh pakaian dari Mataraman, Madura, semua boleh,” kata Nur Salam.


Pilgub Jatim 2024, Seneng Bareng

Nah, jika ingin melihat keseruan para paslon gubernur dan wakilnya memaparkan visi dan misi mereka beserta tanggapan dan solusi yang mereka tawarkan terkait tema dan permasalahan yang ada di Jawa Timur, jangan lupa teman-teman bersiap nanti malam di KompasTV atau TVRI sejak pukul 19.30 WIB.


Saya sih jujur sangat tertarik menyaksikan acara debat perdana ini karena semua calon gubernur Jawa Timur adalah perempuan atau ibu-ibu yang punya kualifikasi mumpuni. Kebayang serunya ibu-ibu jika berdebat, apalagi menyangkut hajat hidup warga Jawa Timur. Siapa tahu bisa memberikan wawasan baru untuk memilih calon pemimpin ke depan nanti. Jadi, jangan lupa ikutan nonton ya, Lur!

Dari 10 hingga 15 anak yang berkumpul di aula desa, perhatian Gardian tertuju pada seorang anak yang terlihat berbeda dari temannya. Anak itu datang dengan kendaraan bagus. Baju yang ia kenakan pun bermerek.

“Saya sampai terpikir gitu, kelihatannya anak ini mampu. Tapi kok nggak sekolah, putus sekolah gitu,” kenang Gardian yang saat itu merasa heran.


Sebelumnya, pria yang memiliki nama lengkap Gardian Muhammad Abdullah ini berpikir bahwa penyebab masalah putus sekolah pada anak-anak biasanya identik dengan faktor ekonomi.


Gardian pun sadar bahwa fakta dan realitanya, masalah pendidikan tidak hanya terbatas pada masalah ekonomi. Ia menjumpai banyak orang di masyarakat yang cenderung menengah ke atas atau kaya raya, tetapi tetap memilih untuk putus sekolah. Mereka menganggap pendidikan itu tidak terlalu penting.


“Ternyata memang ada fakta di desa itu. Nggak cuma itu saja, bahkan kesadaran untuk menganggap pendiidkan itu penting juga masih sangat kurang,” ungkap Gardian yang kini menjabat sebagai CEO Gerakan Mengajar Desa.


Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Berawal dari Keprihatinan 


Bisa dibilang, masa remaja seorang Gardian tidaklah seperti anak-anak seusia pada umumnya. Sejak SMA saja, pria kelahiran 15 Agustus 2000 ini sudah mengamati dengan cermat betapa kondisi daerah Cianjur, tempatnya tinggal, begitu memprihatinkan.


Di tahun 2018 itulah, Gardian bersama beberapa temannya mulai merintis Gerakan Mengajar Desa. Ini didasari kondisi yang mereka lihat bahwa waktu itu pendidikan di Kabupaten Cianjur masih jauh dari kata bagus.


Bahkan menurut data Indeks Pembangunan Manusia atau IPM dari seluruh kabupaten di Jawa Barat waktu itu, Kabupaten Cianjur berada di peringkat paling bawah.


Cianjur sendiri merupakan sebuah kabupaten yang cukup besar wilayahnya. Kabupaten ini terdiri dari 32 kecamatan, 6 kelurahan, dan 354 desa. Bahkan jarak antara ujung Cianjur ke pusat kota, masih lebih dekat dengan kota lain, yaitu ke Bandung.


Gardian Muhammad. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

“Akhirnya dianalisa apa yang menyebabkan IPM Cianjur seburuk itu. Dan akhirnya kita sepakat melakukan gerakan pendidikan desa,” cetus pria lulusan Universitas Diponegoro jurusan Program Studi Informasi dan Hubungan Masyarakat.


Latar belakang Gardian yang mengaku asli orang desa membuatnya mampu melihat kondisi pendidikan di desanya yang sangat memprihatinkan. Ayah Gardian sendiri adalah seorang guru SMP. Sejak kecil, ia kerap diajak ayahnya mengajar di sekolah. 


Oleh karena itulah, Gardian jadi terbiasa melihat kondisi pendidikan di sekitarnya yang mengalami ketimpangan terasa mencolok. Padahal letak geografis mereka relatif dekat dengan ibukota provinsi. Gardian merasa ada yang harus dibenahi saat melihat fakta semacam ini.


Jangkauan Meluas Hingga Puluhan Provinsi


Berawal dari kondisi di Cianjur, Gardian lantas berpikir bahwa ketimpangan pendidikan yang ada memang harus diperbaiki. Apalagi khususnya terhadap pola pikir pendidikan.


“Banyak dari masyarakat yang menganggap pendidikan itu hanya annual report atau laporan tahunan,” imbuh Gardian.


Karena itulah, ia lantas memutuskan membuat Gerakan Mengajar Desa di tahun 2018. Gerakan pendidikan ini fokus pada pemberdayaan pemuda dan masyarakat.


Gerakan Mengajar Desa mendapat respon positif dari masyarakat. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

Awalnya Gerakan Mengajar Desa bergerak di Kabupaten Cianjur saja. Namun ternyata respon di Kabupaten Cianjur cukup luar biasa. Hingga akhirnya Gardian berpikir bahwa masalah pendidikan sebetulnya tidak bisa dibatasi dengan urusan geografis saja.


Di tahun kedua, Gerakan Mengajar Desa melebarkan jangkauan hingga ke tingkat provinsi yang hadir di 27 kabupaten dan atau kota. Bahkan jumlah relawan waktu itu sudah mencapai 2.200 orang. Hingga kini sudah ada puluhan ribu relawan yang tersebar di 144 kabupaten dan kota serta 30 provinsi yang ada di Indonesia.


Pendidikan Berujung pada Masalah Kesadaran


Pada dasarnya program Gerakan Mengajar Desa muncul untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Seperti halnya kisah Gardian yang pernah menjumpai seorang anak yang terlihat mampu secara ekonomi, tetapi ternyata lebih memilih putus sekolah.


“Pada saat itu merasa kaget, ada salah satu siswa yang putus sekolah ini datang ke aula desa menggunakan kendaraan yang bagus pakai baju branded,” tutur Gardian.


Ia lalu mendekati anak tersebut dan mencoba mengajak bicara. Ternyata jawaban anak tersebut, ia putus sekolah karena orangtuanya sudah kaya. Saat kelak dewasa, ia tinggal melanjutkan usaha orangtuanya dan otomatis sudah kaya.


Hal inilah yang menjadi penyebab lain dari masalah pendidikan. Anak putus sekolah tidak hanya karena faktor ekonomi. Melainkan juga keberadaan faktor pola pikir yang ada di masyarakat.


Dampak dari Gerakan Mengajar Desa ini pun cukup signifikan. Menurut Gardian, di Cianjur sendiri gerakan ini sudah menjangkau lebih dari 100 desa.


“Kita kontrol. Ada monitoring dan evaluasi. Ada komunikasi terus. Yang menjadi target adalah anak-anak yang putus sekolah dan anak anak yang sekolah, tapi tidak mendapatkan pendidikan yang layak.”


Maksud dari pendidikan yang layak ini bisa dilihat dari bagaimana proses belajar yang seorang anak alami, kondisi jumlah guru, hingga keberadaan fasilitas penunjang.


Hasilnya, ada testimoni positif dari para alumni yang diajar oleh para pengajar Gerakan Mengajar Desa. Mereka menjadi lebih peduli bahwa pendidikan itu memang sangat penting. Beberapa dari mereka pun ada yang melanjutkan sekolah. Sementara sebelumnya, lebih banyak anak yang harus putus sekolah di saat seharusnya mereka mengenyam bangku SD atau SMP.


Menjadi Pengajar di Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Untuk bisa bergabung di Gerakan Mengajar Desa sendiri, seseorang harus melewati beberapa tahapan hingga sampai di tahap pengabdian. Salah satu tahapan yang dilalui adalah Training of Trainer atau ToT. Tahapan ToT ini merupakan persiapan seseorang untuk melaksanakan pengabdian yang dilaksanakan selama 3 bulan sebelum pengabdian dan 3 bulan setelah pengabdian.


“Jadi selain mengajarkan apa yang harus diajar, kita juga ingin memberdayakan relawan yang tergabung pada kita biar lebih optimal. Punya life skill yang bagus,” terang Gardian yang tahun 2023 lalu meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi untuk kategori Pendidikan.