Tampilkan postingan dengan label satu indonesia awards. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label satu indonesia awards. Tampilkan semua postingan

Pada tahun 2022, sebuah inisiatif lingkungan lahir dari masalah pribadi yang dirasakan oleh Ima Rida, pendiri Magi Farm. Hal ini bermula dari dirinya yang telah lama melakukan pemilahan sampah di rumahnya, tetapi ia masih merasa kurang puas karena sampah yang dipilah akhirnya tercampur kembali saat diangkut dan kemudian dibuang begitu saja ke tempat pembuangan akhir atau TPA.


Ima Rida dan Magi Kit, bagian dari produk Magi Farm yang bisa digunakan di rumah tangga. (Sumber foto: Instagram @magifarm_id)


Kenyataan ini menimbulkan rasa bersalah bagi Ima. Ia menyadari, sampah yang berakhir di TPA dengan kondisi tercampur antara sampah organik dan anorganik justru memperparah masalah lingkungan.


Sampah organik, meski terurai, membutuhkan waktu dan menghasilkan gas yang mampu menyumbang penyebab pemanasan global. Sedangkan sampah anorganik di TPA yang tidak bisa terurai perlu membutuhkan proses daur ulang.


Dari serentetan fakta itulah, Ima terpikirkan untuk menemukan solusi yang lebih baik terhadap masalah sampah yang ada, terutama bagi sampah organik.

 

Kesadaran Terhadap Bahaya Sampah yang Salah Penanganan


Sebelum mengenal keberadaan maggot, Ima melakukan metode komposting untuk mengolah sampah organik yang ia hasilkan di rumahnya. Namun, proses penguraian sampah menjadi kompos ini memerlukan waktu yang tak bisa cepat terurai. Sementara itu, sampah makanan di rumahnya bisa terus bertambah setiap harinya.


Ima merasa kecepatan proses komposting tersebut tidak seimbang dengan jumlah sampah yang dihasilkan setiap hari. Sementara itu, jika sampah organik dibiarkan begitu saja, bisa membusuk dapat menghasilkan gas metana, gas rumah kaca yang berkontribusi terhadap pemanasan global.


Kesadaran Ima akan pentingnya pengelolaan sampah yang tepat muncul setelah ia memahami dampak buruk sampah pada lingkungan.


Ima Rida. (Sumber foto: Instagram @imaridaa)


“Padahal dulu kan waktu kecil yang ku tahu, oh ni kulit pisang nih, udah buang aja sembarangan. Ntar kan juga ilang. Tapi ternyata nggak begitu proses si kulit pisang ini bisa sampai terurai sempurna. Itu bisa mengeluarkan gas metana yang berbahaya yang kalau di TPA, gas metana ini bisa bikin meledak tuh. Trus kalau di muka bumi biasa bisa berkontribusi terhadap global warming sama climate change,” jelas Ima.


Pemahaman inilah yang memotivasinya untuk mendirikan Magi Farm agar sampah makanan bisa diolah dengan benar dan bermanfaat bagi lingkungan.

 

Magi Farm, Solusi Pengelolaan Sampah Organik yang Inovatif


Suatu ketika, Ima menemukan solusi dengan maggot yang merupakan larva lalat hitam atau black soldier fly. Larva ini mampu menguraikan sampah makanan lebih cepat. Secara alami, maggot bisa mengonsumsi sampah organik dan menghasilkan pupuk organik dalam waktu singkat.


Setelah keberhasilannya mengolah sampah makanan sendiri, Ima terinspirasi untuk berbagi solusi ini dengan masyarakat luas. Terutama, untuk skala rumah tangga, hotel, dan restoran yang ada di Bali. Di Magi Farm, Ima membuka kesempatan kerja sama bagi siapa saja yang ingin mengelola sampah organik mereka secara lebih bertanggung jawab.


Magi Kit, salah satu produk utama dari Magi Farm. (Sumber foto: Instagram @magifarm_id)


Maka lahirlah Magi Farm, sebuah social enterprise yang mengedepankan prinsip keberlanjutan dalam menangani sampah makanan. Magi Farm menawarkan solusi inovatif dalam pengelolaan sampah makanan dengan menggunakan maggot.


Usaha ini menawarkan dua pilihan bagi pelanggan. Pertama, pelanggan dapat mengumpulkan sampah makanan mereka di ember khusus yang disediakan Magi Farm yang nantinya akan diolah menggunakan maggot. Kedua, mereka bisa mengadopsi larva-larva maggot dalam Magi Kit yang dapat ditempatkan di rumah.


Tim dari Magi Farm yang mengumpul sampah organik dari pelanggan. (Sumber foto: Instagram @magifarm_id)


Dengan mengadopsi Maggi Kit, sampah makanan dapat diolah sendiri secara langsung di rumah sehingga pelanggan Magi Farm bisa melihat proses penguraian yang dilakukan oleh maggot. Nantinya, seminggu sekali, sampah dan maggot yang sudah besar akan diambil oleh tim Magi Farm dan diganti dengan larva maggot yang baru.


Selain mengolah sampah makanan, Magi Farm juga menghasilkan berbagai produk turunan dari maggot. Maggot hidup dapat dijadikan pakan ternak untuk ikan lele dan ayam, sementara maggot yang dikeringkan bisa menjadi pakan untuk hewan peliharaan eksotis, seperti koi, tokek, dan sugar glider.



Berbagai produk turunan Magi Farm. (Sumber foto: Instagram @magifarm_id)


Salah satu produk unggulan Magi Farm adalah suplemen untuk anjing. Suplemen ini bukanlah makanan utama, tetapi digunakan sebagai topping tambahan. Mengingat populasi anjing di Bali cukup besar, suplemen ini pun mendapat sambutan positif dari para pemilik hewan peliharaan.


Sejauh ini, perjalanan Magi Farm tak lepas dari dukungan berbagai pihak. Mulai dari yayasan Kopernik, NGO yang bergerak di bidang isu lingkungan dan sosial, serta komunitas lingkungan lainnya. Berkat dukungan tersebut, Magi Farm berhasil mendapatkan informasi dan panduan dalam mengolah sampah makanan dengan maggot secara lebih efektif.


Respon dari masyarakat pun cukup positif, terutama di Bali. Beberapa pemilik restoran, hotel, bahkan rumah tangga di Bali menunjukkan ketertarikan terhadap pengelolaan sampah yang berkelanjutan.


Salah satu hotel bintang lima di Bali yang menggunakan jasa Magi Farm untuk pengolahan sampah organiknya. (Sumber foto: Instagram @magifarm_id)



Hingga kini, Magi Farm telah berkembang dan memiliki lima anggota tim. Ima sendiri memilih fokus penuh di awal tahun 2023 mengembangkan Magi Farm dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya.


Kini, walaupun Magi Farm sudah berhasil mengolah lima ton sampah dalam setahun, Ima merasa usahanya tersebut masih perlu ditingkatkan untuk mencapai dampak yang lebih signifikan. Sampah makanan yang dihasilkan di Indonesia masih sangat tinggi dan sebagian besar berakhir di TPA. Ima berharap semoga makin banyak masyarakat yang mau memilah dan mengelola sampah organik di rumah sehingga masalah sampah bisa makin ditekan.


Magi Farm juga terus mengedukasi masyarakat akan pentingnya pengelolaan sampah yang baik. Langkah kecil seperti memilah sampah atau mengolahnya sendiri sudah dapat memberikan dampak besar bagi lingkungan.


Dalam perjalanannya membangun Magi Farm, Ima memiliki satu pesan penting bagi masyarakat yaitu ajakan untuk memulai dari hal-hal yang kecil. Misalnya, dengan pilah-pilih sampah organik dan non-organik di rumah, atau mencoba mengolah sampah makanan sendiri dengan metode sederhana.


Menurutnya, langkah-langkah kecil ini jika dilakukan secara konsisten, bisa membawa perubahan besar dan positif bagi lingkungan kita.


Atas kiprahnya bersama Magi Farm yang turut peduli pada lingkungan, Ima mendapat Apresiasi SATU Indonesia Awards di tahun 2023 untuk tingkat Provinsi Bali di bidang lingkungan.


Suryanto dan anak-anak sekolah yang berkunjung di Surya Fish Farm Education. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)

Berawal dari hobi memelihara ikan sejak SD, nyatanya seorang pria asal Yogyakarta bisa meraih penghargaan besar seperti Kalpataru hingga SATU Indonesia Awards. Tentunya bukan sebuah perjalanan yang singkat bagi Suryanto hingga ia bisa meraih dua penghargaan tersebut. 


Sebelumnya, Suryanto adalah seorang penggemar ikan hias yang lalu memulai bisnis jual beli ikan koi. Bahkan ia pun pernah termasuk salah satu penangkap ikan di sungai yang juga menggunakan alat setrum. 

 

Namun lambat laun, Suryanto sadar tentang pentingnya kelestarian lingkungan. Dari waktu ke waktu, ia lalu melakukan berbagai aksi yang membawa dampak positif bagi sikap masyarakat di sekitarnya terhadap alam, terutama ekosistem sungai.

 

Berawal dari Bisnis hingga Mendirikan Surya Fish Farm Education

 

Saat ini, banyak orang mengenal dan melekatkan Suryanto dengan Surya Fish Farm Education atau SFF Edu yang didirikannya 2015 silam. Namun sebelum ia mendirikan SFF Edu, ternyata Suryanto lebih terkenal sebagai penjual ikan hias koi.

 

Pria asal Pedukuhan Carikan, RT 03 RW 02, Kelurahan Bumirejo Kapanewon Lendah, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta ini sejak kecil tinggal di daerah yang dikelilingi sungai. Mulai dari yang berukuran kecil, hingga besar. 

 

Awalnya di tahun 2012, ia melakukan budidaya ikan hias jenis koi. Tak hanya itu, Suryanto juga memberi edukasi kepada para pelanggannya agar bisa memelihara dengan baik. 

 

Usahanya berbisnis ikan koi sambil memberi pengetahuan ke para pembelinya tersebut awalnya membuat ia tidak disukai para pedagang ikan hias lainnya. Namun uniknya, lambat laun caranya itu justru diikuti para penjual ikan hias lainnya. 

 

Selain budidaya ikan hias koi, Suryanto juga mengaku dulu kerap mencari ikan dengan setrum di sungai. Tetapi makin hari ia sadar, cara tersebut bisa merusak keberadaan ekosistem di sungai. 

 

Setelah ia sadar, Suryanto lalu berpikir bagaimana caranya agar masyarakat di sekitarnya juga bisa berhenti dari kebiasaan menangkap ikan dengan cara setrum. Hingga di tahun 2017, momen itu pun datang.

 

Saat itu, marak terjadi pencurian di rumah warga. Suryanto kemudian mengusulkan untuk menghidupkan lagi sistem pos ronda. Sementara itu, kebiasaan warga menangkap ikan dengan cara setrum di sungai pada malam hari juga masih kerap terjadi.

 

Akhirnya sambil melakukan ronda dan berjaga di pos ronda, Suryanto menyisipkan obrolan tentang cara melestarikan sungai dan ikan lokal yang ada di sungai sekitar daerah mereka.

 

Langkahnya dalam berkomunikasi dengan warga akhirnya berhasil. Makin hari, makin sedikit warga yang menangkap ikan dengan cara setrum. Masyarakat di sekitar tempatnya tinggal bahkan bergotong royong membuat papan peringatan larangan mengambil ikan dengan cara setrum. 

 

Cara ini awalnya tentu mendapat penolakan. Dari beberapa papan larangan yang dipasang, sempat ada juga papan-papan yang dirusak. Ia cukup mengerti karena hal tersebut terkait dengan mata pencaharian masyarakat.

 

Tapi Suryanto pantang menyerah. Pelan-pelan, ia terus memberi tahu dan memberi edukasi. “Karena dia itu juga butuh untuk makan, jadi kita juga harus pintar-pintarnya memberi pemahaman pengertian,” ujar Suryanto. 

 

Di tahun 2015, Suryanto kemudian menyisihkan sebagian hasil penjualan ikan koi dari usaha budidayanya  untuk mendirikan SFF Edu. Dari uang yang dimilikinya, ia membangun pendopo, membeli beberapa akuarium, dan membuat beberapa kolam budidaya. Semuanya itu ia pakai sebagai media edukasi untuk mereka yang tertarik dengan budidaya ikan hias.

 

Halaman SFF Edu. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)


Pria yang mengaku hanya lulusan SMA dan tidak punya dasar ilmu formal tentang perikanan ini banyak belajar dari pengamatan sendiri. “Kita memelihara, terus mengetahui karakteristiknya gimana, sama budidayanya,” aku Suryanto. 

 

Ia terus melakukan semua itu degan motivasi karena menyukai lingkungan yang bersih. “Zaman aku dulu waktu masih kecil, banyak alami. Terus waktu dewasa kok banyak sekali kerusakan dan tercemar. Terus aku ingin kembali ke masa-masa dulu seperti itu,” ungkap Suryanto.

 

Edukasi Ikan untuk Kelestarian Lingkungan

 

Tempat tinggal Suryanto yang juga menjadi tempat berdirinya SFF Edu memang cukup asri. Sebagai tempat edukasi dan konservasi, SFF Edu berada di balik teduhnya pepohonan kebun pohon jati, beberapa pohon kelapa, dan pohon mlinjo. 

 

Saat mengunjungi tempat ini, para pengunjung langsung mendengar suara gemericik air dari pompa air di beberapa akuarium berukuran besar. Akuarium-akuarium ini yang terletak di antara pendopo dan rumah tinggal Suryanto. 

 

Sejak awal didirikan, Suryanto membuat slogan untuk SFF Edu, yaitu ‘Edukasi Ikan untuk Kelestarian Lingkungan’. Hingga kini, SFF Edu fokus pada kegiatan edukasi dan konservasi.

 

Di sini, para pengunjung bisa belajar, mengenal, mengidentifikasi ikan lokal dan jenis ikan invasif, cara menangkap ikan yang baik dan benar, cara memelihara, pengetahuan reproduksi ikan, serta cara membudidayakan aneka macam jenis ikan lokal dan asing. SFF Edu juga memberi pengetahuan tentang cara melepasliarkan ikan yang benar agar tidak mengganggu habitat lain yang sudah ada di sungai. Apalagi jika ikan tersebut tergolong ikan predator.

 

Kegiatan identifikasi ikan lokal. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)


“Kita belajar tentang ikan untuk mengetahui tentang jenis jenis ikan terus begitu juga melestarikan ikan ikan yang lokal tentunya,” jelas Suryanto. 

 

Selama ini fokus SFF Edu lebih banyak untuk anak usia sekolah. Ia mengenalkan ikan sebagai cara mendidik untuk menumbuhkan karakter jiwa peduli lingkungan hidup di sekitarnya, cinta sesama makhluk hidup, hingga belajar mencintai kebersihan lingkungan. 

 

Keberadaan SFF Edu pun sebagai wahana edukasi bagi generasi muda. Suryanto menganggap cara ini sebagai jurus jitu untuk dilakukan karena memberi pengetahuan kepada para penerus pelestarian lingkungan yang kelak bertanggung jawab di masa depan. 

 

Di SFF Edu, masyarakat akan diajak mengidentifikasi jenis-jenis ikan lokal termasuk cara memeliharanya, domestikasi, hingga bagaimana cara membudidayakan ikan lokal. 

 

Materi di SFF Edu. (Sumber foto: Instagram @suryafishfarmeducation)


Bagi Suryanto sendiri, ikan lokal tak hanya memiliki nilai ekonomis dan sumber pangan. Akan tetapi, keberadaan ikan lokal dapat menjadi alat ukur kelestarian lingkungan hidup terutama kualitas air yang sehat.

 

Awalnya SFF Edu didirikan Suryanto dengan menunjukkan keberadaan ikan-ikan hias. Namun seiring menurunnya populasi ikan lokal yang ada sekitarnya, ia pun menambah koleksi di SFF Edu berupa ikan-ikan lokal.  

 

Ikan lokal yang dimaksud antara lain seperti ikan jenis wader-waderan yaitu wader pari, wader cangkul, wader abang, ikan sepat, ikan betok, ikan betik, serta ikan cupang lokal. Sedangkan ikan red devil atau ikan nila termasuk ikan asing yang asalnya tidak dari daerah tempat Suryanto tinggal.

 

Keberadaan jenis-jenis ikan lokal ini sangat ia perhatikan dan lestarikan. Hal ini dikarenakan maraknya pencarian ikan terutama yang dilakukan secara tidak ramah lingkungan. 

 

“Misalnya seperti racun atau setrum, alatnya yang berbahaya bagi lingkungan. Selain itu masuknya jenis-jenis ikan baru yang bukan habitatnya, yang berasal dari luar negeri atau dari luar daerah kita. Kebanyakan kalau sudah bosen dilepas ke sungai atau dilepasliarkan. Sepatutnya tidak boleh karena nanti bisa menginvansi atau menggeser keberadaan ikan yang asli atau ikan lokal di sekitar kita,” jelas Suryanto. 

 

Dengan belajar tentang ikan, menurut Suryanto, siapapun jadi bisa paham tentang ilmu ekologi yang memelajari hubungan atau interaksi sesama makhluk hidup dengan lingkungan dalam sebuah ekosistem. 

 

Masyarakat juga jadi bisa tahu bagaimana ikan berkembang biak, bagaimana ikan hidup di perairan, mengenal ekosistem perairan, jenis-jenis pohon sebagai pelestari mata air, serta arti pentingnya kebersihan lingkungan.

 

Berbagai Aksi Pelestarian Alam yang Menuai Apresiasi

 

Tak hanya mengedukasi untuk tidak lagi menangkap ikan dengan cara setrum, Suryanto juga memberikan solusi. Langkah ini membuat ia tidak mematikan mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan diri dari kegiatan menangkap ikan dengan cara setrum. 

 

“Alhamdulillah sekarang itu sudah agak tergerak, ataupun sadar gitu tidak lagi menggunakan alat-alat yang berbahaya. Karena itu kan juga ada undang-undangnya yang mengatur seperti itu kan,” tutur Suryanto yang turut menginisiasi penyusunan peraturan tentang larangan perburuan liar. 

 

Ia bersyukur, masyarakat di sekitarnya sudah mulai mencoba membudidayakan jenis-jenis ikan yang asli seperti ikan wader. Tak hanya itu, masyarakat yang memiliki kebiasaan membuang sampah di sungai juga sudah diarahkan untuk mengolahnya di rumah tangga masing-masing. 

 

“Ya karena kita aktif sosialisasi mungkin mereka juga tergerak untuk melestarikan sungai,” imbuhnya.

 

Suryanto yang mampu menunjukkan cara baru mengkreasikan budidaya ikan-ikan lokal untuk dimanfaatkan lebih luas untuk kesejahteraan masyarakat inipun membuatnya mendapat apresiasi Kalpataru tahun 2021. Ia berhasil meraih juara 1 penerima Kalpataru Tingkat Daerah Istimewa Yogyakarta untuk kategori Perintis Lingkungan.

 

Memang, sudah banyak hal yang dilakukan oleh Suryanto hingga menggerakan kebiasaan baik di masyarakat tentang pelestarian alam khususnya sungai. Misalnya, ia bisa mengajak bersih sungai secara berkala satu bulan sekali.

 

Selain itu, Suryanto juga pernah membuat buku muatan lokal berjudul ‘Jaga Kaliku’ untuk anak SD. Buku yang berisi tentang pengenalan jenis-jenis ikan lokal ini merupakan hasil kerja sama Dinas Kelautan dan Perikanan, bersama Dinas Pendidikan. 

 

Buku ‘Jaga Kaliku’ (Sumber foto: dkp.kulonprogokab.go.id)

 

Hal yang unik adalah program yang pernah dilakukan Departemen Agama Kabupaten Kulon Progo yang terinspirasi dari gerakan pelestarian ikan lokal yang dilakukan Suryanto. Program tersebut adalah, bagi siapapun yang menikah, pasangan pengantin wajib merilis ikan lokal. 

 

Berbagai kegiatan yang dilakukan pria yang tergabung dalam beberapa komunitas seperti Wild Water Indonesia dan Kelompok Masyarakat Pengawas Pelestari Alam dan Satwa Indonesia atau Pokmaswas Padas ini membuatnya meraih penghargaan dari Astra. Di tahun 2023 lalu, Suryanto berhasil menjadi penerima Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi Yogyakarta di bidang Lingkungan. 

 

Dengan penghargaan tersebut, ia merasa senang karena masyarakat luas bisa peduli terhadap lingkungan, terutama lingkungan sungai. “Yang awalnya tercemar kini bisa menikmati seperti dulu lagi,” ujarnya. 

 

Ia berharap masyarakat bisa menyukai ikan serta memiliki keinginan menjaga dan melestarikan lingkungan perairan yang sehat agar bermanfaat bagi semua makhluk hidup.

 

“Harapannya nggak muluk-muluk, berharap masyakarat Indonesia sadar untuk mengelola lingkungannya sendiri. Kalau nanti lingkungan di sekitar rumah sudah bagus, tidak ada sampah, tidak ada pencemaran, itu akan terlihat. Seluruh wilayah akan bersih. Kita mulai dari lingkungan kita sendiri saja,” pungkasnya. 

 

Dari 10 hingga 15 anak yang berkumpul di aula desa, perhatian Gardian tertuju pada seorang anak yang terlihat berbeda dari temannya. Anak itu datang dengan kendaraan bagus. Baju yang ia kenakan pun bermerek.

“Saya sampai terpikir gitu, kelihatannya anak ini mampu. Tapi kok nggak sekolah, putus sekolah gitu,” kenang Gardian yang saat itu merasa heran.


Sebelumnya, pria yang memiliki nama lengkap Gardian Muhammad Abdullah ini berpikir bahwa penyebab masalah putus sekolah pada anak-anak biasanya identik dengan faktor ekonomi.


Gardian pun sadar bahwa fakta dan realitanya, masalah pendidikan tidak hanya terbatas pada masalah ekonomi. Ia menjumpai banyak orang di masyarakat yang cenderung menengah ke atas atau kaya raya, tetapi tetap memilih untuk putus sekolah. Mereka menganggap pendidikan itu tidak terlalu penting.


“Ternyata memang ada fakta di desa itu. Nggak cuma itu saja, bahkan kesadaran untuk menganggap pendiidkan itu penting juga masih sangat kurang,” ungkap Gardian yang kini menjabat sebagai CEO Gerakan Mengajar Desa.


Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Berawal dari Keprihatinan 


Bisa dibilang, masa remaja seorang Gardian tidaklah seperti anak-anak seusia pada umumnya. Sejak SMA saja, pria kelahiran 15 Agustus 2000 ini sudah mengamati dengan cermat betapa kondisi daerah Cianjur, tempatnya tinggal, begitu memprihatinkan.


Di tahun 2018 itulah, Gardian bersama beberapa temannya mulai merintis Gerakan Mengajar Desa. Ini didasari kondisi yang mereka lihat bahwa waktu itu pendidikan di Kabupaten Cianjur masih jauh dari kata bagus.


Bahkan menurut data Indeks Pembangunan Manusia atau IPM dari seluruh kabupaten di Jawa Barat waktu itu, Kabupaten Cianjur berada di peringkat paling bawah.


Cianjur sendiri merupakan sebuah kabupaten yang cukup besar wilayahnya. Kabupaten ini terdiri dari 32 kecamatan, 6 kelurahan, dan 354 desa. Bahkan jarak antara ujung Cianjur ke pusat kota, masih lebih dekat dengan kota lain, yaitu ke Bandung.


Gardian Muhammad. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

“Akhirnya dianalisa apa yang menyebabkan IPM Cianjur seburuk itu. Dan akhirnya kita sepakat melakukan gerakan pendidikan desa,” cetus pria lulusan Universitas Diponegoro jurusan Program Studi Informasi dan Hubungan Masyarakat.


Latar belakang Gardian yang mengaku asli orang desa membuatnya mampu melihat kondisi pendidikan di desanya yang sangat memprihatinkan. Ayah Gardian sendiri adalah seorang guru SMP. Sejak kecil, ia kerap diajak ayahnya mengajar di sekolah. 


Oleh karena itulah, Gardian jadi terbiasa melihat kondisi pendidikan di sekitarnya yang mengalami ketimpangan terasa mencolok. Padahal letak geografis mereka relatif dekat dengan ibukota provinsi. Gardian merasa ada yang harus dibenahi saat melihat fakta semacam ini.


Jangkauan Meluas Hingga Puluhan Provinsi


Berawal dari kondisi di Cianjur, Gardian lantas berpikir bahwa ketimpangan pendidikan yang ada memang harus diperbaiki. Apalagi khususnya terhadap pola pikir pendidikan.


“Banyak dari masyarakat yang menganggap pendidikan itu hanya annual report atau laporan tahunan,” imbuh Gardian.


Karena itulah, ia lantas memutuskan membuat Gerakan Mengajar Desa di tahun 2018. Gerakan pendidikan ini fokus pada pemberdayaan pemuda dan masyarakat.


Gerakan Mengajar Desa mendapat respon positif dari masyarakat. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

Awalnya Gerakan Mengajar Desa bergerak di Kabupaten Cianjur saja. Namun ternyata respon di Kabupaten Cianjur cukup luar biasa. Hingga akhirnya Gardian berpikir bahwa masalah pendidikan sebetulnya tidak bisa dibatasi dengan urusan geografis saja.


Di tahun kedua, Gerakan Mengajar Desa melebarkan jangkauan hingga ke tingkat provinsi yang hadir di 27 kabupaten dan atau kota. Bahkan jumlah relawan waktu itu sudah mencapai 2.200 orang. Hingga kini sudah ada puluhan ribu relawan yang tersebar di 144 kabupaten dan kota serta 30 provinsi yang ada di Indonesia.


Pendidikan Berujung pada Masalah Kesadaran


Pada dasarnya program Gerakan Mengajar Desa muncul untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Seperti halnya kisah Gardian yang pernah menjumpai seorang anak yang terlihat mampu secara ekonomi, tetapi ternyata lebih memilih putus sekolah.


“Pada saat itu merasa kaget, ada salah satu siswa yang putus sekolah ini datang ke aula desa menggunakan kendaraan yang bagus pakai baju branded,” tutur Gardian.


Ia lalu mendekati anak tersebut dan mencoba mengajak bicara. Ternyata jawaban anak tersebut, ia putus sekolah karena orangtuanya sudah kaya. Saat kelak dewasa, ia tinggal melanjutkan usaha orangtuanya dan otomatis sudah kaya.


Hal inilah yang menjadi penyebab lain dari masalah pendidikan. Anak putus sekolah tidak hanya karena faktor ekonomi. Melainkan juga keberadaan faktor pola pikir yang ada di masyarakat.


Dampak dari Gerakan Mengajar Desa ini pun cukup signifikan. Menurut Gardian, di Cianjur sendiri gerakan ini sudah menjangkau lebih dari 100 desa.


“Kita kontrol. Ada monitoring dan evaluasi. Ada komunikasi terus. Yang menjadi target adalah anak-anak yang putus sekolah dan anak anak yang sekolah, tapi tidak mendapatkan pendidikan yang layak.”


Maksud dari pendidikan yang layak ini bisa dilihat dari bagaimana proses belajar yang seorang anak alami, kondisi jumlah guru, hingga keberadaan fasilitas penunjang.


Hasilnya, ada testimoni positif dari para alumni yang diajar oleh para pengajar Gerakan Mengajar Desa. Mereka menjadi lebih peduli bahwa pendidikan itu memang sangat penting. Beberapa dari mereka pun ada yang melanjutkan sekolah. Sementara sebelumnya, lebih banyak anak yang harus putus sekolah di saat seharusnya mereka mengenyam bangku SD atau SMP.


Menjadi Pengajar di Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Untuk bisa bergabung di Gerakan Mengajar Desa sendiri, seseorang harus melewati beberapa tahapan hingga sampai di tahap pengabdian. Salah satu tahapan yang dilalui adalah Training of Trainer atau ToT. Tahapan ToT ini merupakan persiapan seseorang untuk melaksanakan pengabdian yang dilaksanakan selama 3 bulan sebelum pengabdian dan 3 bulan setelah pengabdian.


“Jadi selain mengajarkan apa yang harus diajar, kita juga ingin memberdayakan relawan yang tergabung pada kita biar lebih optimal. Punya life skill yang bagus,” terang Gardian yang tahun 2023 lalu meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi untuk kategori Pendidikan.

Perjalanan kereta ekonomi jurusan Bojonegoro-Lamongan pagi itu menyisakan rasa gersang bagi kedua putra kami, Bumi dan Rumi. Sepanjang jalan mereka selalu sambat (mengeluh) panas dan hanya ada rasa bosan yang menghinggapinya. Bukan karena kereta tak berpendingin udara, tetapi pemandangan kerontang yang mengubah hawa menjadi gerah. 


Perjalanan mudik di tahun 2014 tersebut menjadi awal mereka mengenal tanah Bojonegoro, sebuah tanah yang menyimpan kekayaan tambang di salah satu bagian utara Pulau Jawa. 

"Bunda, kok di sini tanahnya kering dan hawanya panas banget ya Pemandangannya cuma pohon-pohon dan rumput yang kering seperti terbakar," Bumi akhirnya bertanya setelah mendapat penghiburan berupa camilan kesukaannya. Saat itu, kami hanya bisa menjawab bahwa Bojonegoro memang menjadi kering karena ada aktivitas pertambangan yang membuat efek rumah kaca. 

Syukurlah, ternyata melalui obrolan ini Bumi dan Rumi memiliki banyak pengalaman dan pemahaman yang baru mengenai Bumi dan pelestarian lingkungan. Saya berusaha menjawab keresahan dan rasa penasaran mereka karena generasi merekalah yang menjadi salah satu harapan generasi masa depan para penyayang Bumi. 

Bumi Makin Tua, Kita Harus Peka


"Ibu Bumi wis maringi, ojo dilarani. Bumi sudah memberikan banyak hal buat kehidupan kita. Jangan kita sakiti dengan ulah-ulah yang merugikan bumi kita." Pernyataan KRT Samsul Arifin Wijoyosukmo dari Green Star Nusantara (GSN) yang menjadi penerima Satu Indonesia Award 2021 ini sangat menggugah. Sebagai warga Lamongan, daerah yang wilayahnya bertetangga dengan Bojonegoro, saya merasakan keprihatinan yang serupa. Kegiatan Mas Samsul melalui lembaga GSN menjadi salah satu harapan baru untuk menyelesaikan perbaikan kualitas oksigen dan menghidupkan kembali sumber mata air yang sudah banyak mati.


Mas Samsul menceritakan bahwa ia memulai proses kegiatan diawali dari suatu keresahan sejak tahun 2010-an. Bojonegoro, terutama di daerahnya, yaitu Wonocolo, eksploitasi minyak dan gas secara masif dan modern sudah dilakukan di tahun 2000-an. Adapun eksploitasi gas bumi di Bojonegoro itu sendiri sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. 

Di mana pun, suatu aktivitas pertambangan pasti memiliki berbagai dampak bagi kehidupan, baik bagi masyarakat maupun lingkungannya. Salah satunya adalah menjadi pemicu pemanasan global. 


Mas Samsul menjelaskan bahwa hal yang paling terasa dan terlihat dampaknya di Bojonegoro adalah pengaruhnya terhadap kualitas oksigen dan banyaknya sumber mata air yang menjadi kering lantaran pohon penyangga air sudah banyak yang lapuk dan tumbang serta habisnya pohon karena dibabat atau disebabkan aktivitas penebangan oleh manusia. Hal yang terasa miris adalah tidak ada upaya perbaikan melihat fenomena tersebut.

"Jika hanya resah, tapi tidak mau berbuat,, ya alam akan semakin rusak dan panas semakin tidak terkendali," tegas Mas Samsul melihat kenyataan di sekitarnya. Kepekaan untuk merasa bahwa Bumi yang semakin panas bisa membuat alam semakin rusak dan tanaman tidak bisa tumbuh membuatnya harus mulai bergerak. Ia mulai memahami bahwa tanaman yang bisa ditanam untuk memperbaiki kualitas oksigen dengan menyerap gas CO2 terbagus dan daya simpan air yang bagus adalah pohon trembesi. 

Pohon trembesi dikenal sebagai pohon hujan atau pohon saman. Trembesi juga memiliki julukan unik di Jawa Barat, yaitu Ki Hujan karena sering meneteskan air dari tujuk-tajuk pohonnya.

Pohon trembesi yang bernama latin Samanea saman dapat tumbuh dengan tinggi, besar, kuat dan kokoh dengan maksimal bentangan trembesi dewasa mencapai 30 meter dan memiliki ketinggian hingga mencapai 20 meter dengan usia mencapai puluhan,  bahkan ratusan tahun. 


Trembesi tumbuh subur di daerah yang memiliki rata-rata curah hujan 600 hingga 3000 mm per tahun dengan ketinggian 0 hingga 300 meter di atas permukaan laut. 

Keistimewaaan lain dari pohon trembesi adalah kemampuannya dalam menghadapi cuaca ekstrem, yakni 2 hingga 4 bulan pada bulan kering dengan suhu suhu 20-38 derajat Celcius. Jangkauan daunnya lebat dan dapat menurunkan 3–4 derajat Celcius suhu udara di lingkungan sekitarnya.

Menurut penelitian, pohon trembesi pun mampu menyerap karbondioksida sebesar 28,5 juta ton per pohon setiap tahunnya.

Manfaat-manfaat inilah yang membuat trembesi dipilih untuk program penghijauan kembali oleh Mas Samsul dan teman-temannya yang bersinergi melalui Green Star Nusantara ini. 

Jika Sudah Cinta, Tak ada Alasan Diam Saja


Semuanya didasari oleh kecintaan terhadap lingkungan dan tanaman. Apabila ada tanaman yang tumbuh dan kering selalu ada rasa ingin (merawat dengan) menyiram supaya tumbuh. Hal ini diungkapkan oleh Erlin, salah satu relawan di Green Star Nusantara. Ia merasa sangat senang dapat bersinergi dalam upaya pelestarian lingkungan ini. 

Hal tersulit ketika memulai gerakan ini pertama kali adalah pada masalah bibit. Mas Samsul bercerita bahwa pertama kali ia membeli bibit trembesi lewat online  dari Jawa barat yang harganya cukup mahal, yaitu per kilo 200 ribuan termasuk ongkir. 

Pada akhirnya, Green Star Nusantara ingin membuat bibit sendiri dan sebisa mungkin melakukan kegiatan secara mandiri. Ruh membesarkan lembaga ini meniru spirit Suku Samin yang terkenal mandiri dan tidak bergantung.

Pendanaan Green Star Nusantara berasal dari iuran sukarela anggota dan produksi jamu serbuk dibuat dari rimpang-rimpangan SPT jahe merah, temulawak, kunyit, temu mangga dll. Hasil penjualannya digunakan untuk pendanaan kegiatan pengembangan. Melalui hal tersebut, kegiatan pelestarian lingkungan juga dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. 


Green Star Nusantara akan membantu warga atau siapa pun yang ingin merawat pohon dengan memberikan bibit secara gratis, tetapi yang terpenting harus memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan upaya tersebut. 

Trembesi dan Harapan Baru Kokohnya Sinergi


Bagi Mas Samsul, Green Star Nusantara adalah sebuah sistem untuk upaya menghijaukan dunia kembali, mengatasi pemanasan global, oksigen yang memburuk, dan menyiapkan cadangan air bersih. Dengan makin banyaknya rumah atau apartemen yang dibangun, ruang terbuka pun kian berkurang yang berdampak pada menipisnya stok air di dalamnya karena tak mampu ditembus hujan.

Peran yang dilakukan Mas Samsul dan Green Star Nusantara sungguh amat menginspirasi. Kita semua pasti setuju dengan pernyataan yang disebutkan dalam  kata pengantar buku Bumiku Sehat Aku Gembira bahwa Bumi kita semakin tua, semakin memerlukan perawatan yang intensif agar tetap "ceria" dan sehat di masa tuanya. Obatilah Bumi, rawatlah ia dengan penuh kasih sayang.