Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label lingkungan. Tampilkan semua postingan

Pernahkah terpikir mengatasi masalah sampah dengan sampah? Ide cemerlang itulah yang melekat pada Plepah. Produk kemasan ramah lingkungan yang digagas oleh Rengkuh Banyu Mahandaru ini memanfaatkan pelepah pohon pinang yang dianggap menjadi sampah pertanian.

Produk Plepah yang bisa digunakan sebagai wadah makanan. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Dengan teknologi yang ia rancang sendiri, pelepah-pelepah pinang yang sebelumnya terbuang begitu saja dan dianggap sebagai sampah oleh para petani, nyatanya bisa diolah menjadi wadah makanan yang ramah lingkungan.


Uniknya, ide membuat wadah makanan yang mudah terurai di alam ini muncul saat Rengkuh sedang menyelam di sebuah area menyelam di Indonesia. Bukannya aneka macam ikan yang didapati, ia malah menemukan banyak sampah styrofoam box dan sampah plastik lainnya di area menyelam tersebut.


Pelajaran dan Kesadaran tentang Sampah dari India

Suatu ketika di tahun 2018, Rengkuh pernah mengunjungi negara India, tepatnya ke daerah Jaypur. Di sana, ia terinspirasi dengan mangkuk dari dedaunan tanaman endemik. Wujudnya seperti daun jati yang dikeringkan.


Perjalanan Rengkuh ke Jaypur India pada tahun 2018 silam. (Sumber foto: Instagram @rengkuhbanyu)


Rengkuh pun tertarik dengan keberadaan tumpukan sampah di India yang organik semua serta bisa dikompos. Di sepanjang jalan yang ia temui, banyak tempat-tempat dekomposter sampah organik di pinggir jalan.


Fenomena ini membuatnya teringat dengan kebiasaan masyarakat tradisional Indonesia yang juga sering memanfaatkan daun jati atau daun pisang untuk membungkus makanan.


Dari sinilah Rengkuh lantas mulai berpikir tentang kondisi pengolahan sampah di Indonesia. Memang, Indonesia belum bisa menjadi seperti negara-negara di Eropa yang bisa mengatasi masalah sampah dengan lebih sistemik. Misalnya mulai dari pengolahan limbah, pengangkutan sampah, kebiasaan masyarakat sadar tentang sampah, atau yang lainnya.


Dengan India, Indonesia memiliki kemiripan dalam hal kebiasaan masyarakatnya dalam membuat sampah. Hanya saja bedanya, masyarakat India masih cukup banyak yang menggunakan daun sebagai wadah pembungkus makanan serta mudahnya menemukan keberadaan tempat sampah dekomposter. Sementara di Indonesia, sudah banyak masyarakat yang memilih menggunakan plastik atau styrofoam sebagai wadah pembungkus makanan karena dianggap lebih praktis.


Daun sebagai pembungkus makanan, seperti daun jati atau daun pisang dianggap memiliki banyak kekurangan. Misalnya, sering mudah robek dan kurang fungsional.


Makanannya Satu, Bungkusnya Lima

Di tahun 2018 sebelum memiliki usaha Plepah, Rengkuh bekerja di sebuah kantor yang ada di Jakarta. Saat jam istirahat, ia kerap memesan makanan lewat aplikasi online yang menawarkan pengantaran makanan.


Satu makanan saja yang ia pesan, kemasannya bisa sampai lima wadah. Contohnya, jika ia pesan satu porsi ayam geprek, ia akan mendapati hasil pesanannya berupa satu wadah nasi sendiri, ayam yang dipisah, sambal yang juga dibungkus terpisah, dan yang lainnya.


Banyak makanan khas Indonesia yang terdiri dari beberapa item dalam satu porsi makanan. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Sebelumnya, hal tersebut tidak menjadi masalah buat Rengkuh. Sampai di kemudian hari, ia terhenyak begitu melihat tumpukan sampah styrofoam box dan sampah plastik lainnya di sebuah area diving di Indonesia yang sedang ia selami.


“Kayaknya bisa dikulik sesuatu untuk menjadi alternatif dari masalah ini,” begitu batin Rengkuh.


Karena latar belakang keilmuan yang Rengkuh miliki adalah desain produk, jadilah pendekatan itu juga yang digunakannya untuk mendesain dan menciptakan produk yang cukup fungsional, tapi nyaman untuk dlihat dan dipegang.


Tahun 2018 bisa dibilang menjadi tahun penuh makna bagi Rengkuh. Perjalanannya saat menyelam yang membuatnya sadar tentang kondisi sampah di Indonesia yang memprihatinkan serta perjalanannya ke India yang membuat ia bisa melihat fenomena pemanfaatan dan pengolahan sampah, semua itu membuatnya memulai usaha Plepah juga di tahun tersebut.


Keistimewaan Pelepah Pinang sebagai Wadah Makanan

Dari sekian bahan alam yang begitu kaya di Indonesia, pilihan Rengkuh jatuh pada pelepah pinang untuk diolah menjadi produk yang diharapkan mampu memberi solusi terhadap masalah sampah.


Di daerah Sumatra sendiri, pohon pinang menjadi komoditas pertanian dengan bagian buah yang diambil untuk dijual. Rata-rata para petani di sana memiliki lahan pohon pinang yang bisa hampir dua hektar luasnya.


Sedangkan pelepah dari pohon ini sendiri sebenarnya limbah pertanian atau sampah dari hasil panen. Dalam sebulan, pelepah pinang bisa jatuh dengan sendirinya sebanyak dua hingga tiga kali.


Menurut Rengkuh, pelepah pinang bisa didesain secara aestetik karena memiliki ketebalan dan karakter material yang cukup kuat. “Bisa diolah secara desain dan bentuknya. Tidak perlu teknologi yang susah,” ujar Rengkuh.


Dalam prosesnya, pelepah pinang yang ada tinggal dicuci atau disterilkan, di-steam biar lebih lentur, dicetak dengan mesin press yang didesainnya sendiri, dan disterilkan lagi.


Banyu membuat mesinnya sendiri. Ia menggunakan teknologi tertentu yang kemudian disesuaikan dengan karakter materialnya. Jadi seperti mengolah bahan dari plastik, tapi materialnya diganti menjadi pelepah pinang.


Salah satu proses dalam pengolahan limbah pelepah pinang (Sumber foto: Instagram @rengkuhbanyu)


Kelebihan lainnya, pelepah pinang ini tahan untuk dimasukkan ke microwave. Bahkan, ini bisa juga dipakai berulang hingga sekitar dua atau tiga kali. Namun Banyu sendiri lebih menyarankan untuk menggunakan Plepah dalam sekali pakai.


Usai digunakan, Plepah bisa langsung di-compose. Jika dibuang di tanah, Plepah bisa terurai selama maksimal kurang lebih 60 hari.


Bermimpi Menyelesaikan Masalah dengan Limbah Pertanian

Hingga kini, usaha Plepah yang digagas Rengkuh makin hari makin berkembang. Ada tiga pabrik dari Plepah. Awalnya, ia mendirikan pabrik di Sumatra Selatan dan Jambi. Ia sengaja membangun pabrik-pabrik di desa karena dekat dengan bahan baku sehingga meminimalisasi jejak karbon.


Pak Asnawi, salah satu petani pohon pinang dari daerah Teluk Kulbi, Jambi. (Sumber foto: Instagram @plepah_id)


Namun karena kebutuhan pemasaran di Jakarta, akhirnya pabrik Plepah juga didirikan di Cibinong, Bogor. Saat ini produksi Plepah sudah mencapai angka 120 hingga 150 pieces per bulan.


Untuk di Indonesia sendiri, Plepah lebih banyak digunakan dan dipasarkan di daerah Jakarta dan Bali, sedangkan untuk ekspor ke luar negeri, jangkauan Plepah sudah ada hingga Jerman dan Australia.


Harga per-pieces dari Plepah sendiri hingga kini sekitar 2.500 hingga 3 ribu rupiah, tergantung ukuran. Rengkuh mengaku, tantangan yang dihadapinya saat ini adalah menurunkan harga secepat-cepatnya. Apalagi harga styrofoam sendiri sangat jauh murah sehingga lebih dipilih kebanyakan masyarakat.


Kini, ia dan kawan-kawannya terus bermimpi bisa memanfaatkan material-material, misalnya dari limbah pertanian sehingga bisa memiliki nilai ekonomi.


“Di sisi lain sebetulnya banyak permasalah-permasalahan yang bisa diselesaikan dengan limbah pertanian ini. Apalagi Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Kita hari ini sedang mengembangkan alternatif untuk mengurangi penggunaan batubara atau pembangkit listrik yang menggunakan batubara dengan bio massa,” Rengkuh menerangkan mimpi dan harapannya saat ini.


Ia berharap kelak penggunaan limbah pertanian yang ke depannya bisa memberikan dampak ekonomi serta dampak positif pada masyarakat dan juga terhadap lingkungan.


Atas inovasinya yang mampu mengolah limbah menjadi produk yang ramah lingkungan dan bisa menjadi salah satu solusi masalah sampah, maka pada tahun 2023, Rengkuh dan Plepah berhasil meraih penghargaan SATU Indonesia Awards untuk kategori kelompok pejuang lingkungan.


Ia mengaku, ada beberapa keuntungan yang ia rasakan saat meraih penghargaan tersebut. Misalnya, ia bisa mendapatkan modal untuk riset yang kemudian ia pakai untuk mewujudkan mimpi-mimpinya mengolah sampah pertanian menjadi produk dengan nilai ekonomi.


Selain itu, ajang SATU Indonesia Awards juga bisa membuatnya bertemu juri yang memberikan pandangan atau masukan untuk pengembangan produk. Ia juga jadi bisa menambah jaringan yang berkontribusi bagi tumbuh kembang produk Plepah ini.

 

Perjalanan kereta ekonomi jurusan Bojonegoro-Lamongan pagi itu menyisakan rasa gersang bagi kedua putra kami, Bumi dan Rumi. Sepanjang jalan mereka selalu sambat (mengeluh) panas dan hanya ada rasa bosan yang menghinggapinya. Bukan karena kereta tak berpendingin udara, tetapi pemandangan kerontang yang mengubah hawa menjadi gerah. 


Perjalanan mudik di tahun 2014 tersebut menjadi awal mereka mengenal tanah Bojonegoro, sebuah tanah yang menyimpan kekayaan tambang di salah satu bagian utara Pulau Jawa. 

"Bunda, kok di sini tanahnya kering dan hawanya panas banget ya Pemandangannya cuma pohon-pohon dan rumput yang kering seperti terbakar," Bumi akhirnya bertanya setelah mendapat penghiburan berupa camilan kesukaannya. Saat itu, kami hanya bisa menjawab bahwa Bojonegoro memang menjadi kering karena ada aktivitas pertambangan yang membuat efek rumah kaca. 

Syukurlah, ternyata melalui obrolan ini Bumi dan Rumi memiliki banyak pengalaman dan pemahaman yang baru mengenai Bumi dan pelestarian lingkungan. Saya berusaha menjawab keresahan dan rasa penasaran mereka karena generasi merekalah yang menjadi salah satu harapan generasi masa depan para penyayang Bumi. 

Bumi Makin Tua, Kita Harus Peka


"Ibu Bumi wis maringi, ojo dilarani. Bumi sudah memberikan banyak hal buat kehidupan kita. Jangan kita sakiti dengan ulah-ulah yang merugikan bumi kita." Pernyataan KRT Samsul Arifin Wijoyosukmo dari Green Star Nusantara (GSN) yang menjadi penerima Satu Indonesia Award 2021 ini sangat menggugah. Sebagai warga Lamongan, daerah yang wilayahnya bertetangga dengan Bojonegoro, saya merasakan keprihatinan yang serupa. Kegiatan Mas Samsul melalui lembaga GSN menjadi salah satu harapan baru untuk menyelesaikan perbaikan kualitas oksigen dan menghidupkan kembali sumber mata air yang sudah banyak mati.


Mas Samsul menceritakan bahwa ia memulai proses kegiatan diawali dari suatu keresahan sejak tahun 2010-an. Bojonegoro, terutama di daerahnya, yaitu Wonocolo, eksploitasi minyak dan gas secara masif dan modern sudah dilakukan di tahun 2000-an. Adapun eksploitasi gas bumi di Bojonegoro itu sendiri sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda. 

Di mana pun, suatu aktivitas pertambangan pasti memiliki berbagai dampak bagi kehidupan, baik bagi masyarakat maupun lingkungannya. Salah satunya adalah menjadi pemicu pemanasan global. 


Mas Samsul menjelaskan bahwa hal yang paling terasa dan terlihat dampaknya di Bojonegoro adalah pengaruhnya terhadap kualitas oksigen dan banyaknya sumber mata air yang menjadi kering lantaran pohon penyangga air sudah banyak yang lapuk dan tumbang serta habisnya pohon karena dibabat atau disebabkan aktivitas penebangan oleh manusia. Hal yang terasa miris adalah tidak ada upaya perbaikan melihat fenomena tersebut.

"Jika hanya resah, tapi tidak mau berbuat,, ya alam akan semakin rusak dan panas semakin tidak terkendali," tegas Mas Samsul melihat kenyataan di sekitarnya. Kepekaan untuk merasa bahwa Bumi yang semakin panas bisa membuat alam semakin rusak dan tanaman tidak bisa tumbuh membuatnya harus mulai bergerak. Ia mulai memahami bahwa tanaman yang bisa ditanam untuk memperbaiki kualitas oksigen dengan menyerap gas CO2 terbagus dan daya simpan air yang bagus adalah pohon trembesi. 

Pohon trembesi dikenal sebagai pohon hujan atau pohon saman. Trembesi juga memiliki julukan unik di Jawa Barat, yaitu Ki Hujan karena sering meneteskan air dari tujuk-tajuk pohonnya.

Pohon trembesi yang bernama latin Samanea saman dapat tumbuh dengan tinggi, besar, kuat dan kokoh dengan maksimal bentangan trembesi dewasa mencapai 30 meter dan memiliki ketinggian hingga mencapai 20 meter dengan usia mencapai puluhan,  bahkan ratusan tahun. 


Trembesi tumbuh subur di daerah yang memiliki rata-rata curah hujan 600 hingga 3000 mm per tahun dengan ketinggian 0 hingga 300 meter di atas permukaan laut. 

Keistimewaaan lain dari pohon trembesi adalah kemampuannya dalam menghadapi cuaca ekstrem, yakni 2 hingga 4 bulan pada bulan kering dengan suhu suhu 20-38 derajat Celcius. Jangkauan daunnya lebat dan dapat menurunkan 3–4 derajat Celcius suhu udara di lingkungan sekitarnya.

Menurut penelitian, pohon trembesi pun mampu menyerap karbondioksida sebesar 28,5 juta ton per pohon setiap tahunnya.

Manfaat-manfaat inilah yang membuat trembesi dipilih untuk program penghijauan kembali oleh Mas Samsul dan teman-temannya yang bersinergi melalui Green Star Nusantara ini. 

Jika Sudah Cinta, Tak ada Alasan Diam Saja


Semuanya didasari oleh kecintaan terhadap lingkungan dan tanaman. Apabila ada tanaman yang tumbuh dan kering selalu ada rasa ingin (merawat dengan) menyiram supaya tumbuh. Hal ini diungkapkan oleh Erlin, salah satu relawan di Green Star Nusantara. Ia merasa sangat senang dapat bersinergi dalam upaya pelestarian lingkungan ini. 

Hal tersulit ketika memulai gerakan ini pertama kali adalah pada masalah bibit. Mas Samsul bercerita bahwa pertama kali ia membeli bibit trembesi lewat online  dari Jawa barat yang harganya cukup mahal, yaitu per kilo 200 ribuan termasuk ongkir. 

Pada akhirnya, Green Star Nusantara ingin membuat bibit sendiri dan sebisa mungkin melakukan kegiatan secara mandiri. Ruh membesarkan lembaga ini meniru spirit Suku Samin yang terkenal mandiri dan tidak bergantung.

Pendanaan Green Star Nusantara berasal dari iuran sukarela anggota dan produksi jamu serbuk dibuat dari rimpang-rimpangan SPT jahe merah, temulawak, kunyit, temu mangga dll. Hasil penjualannya digunakan untuk pendanaan kegiatan pengembangan. Melalui hal tersebut, kegiatan pelestarian lingkungan juga dibarengi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. 


Green Star Nusantara akan membantu warga atau siapa pun yang ingin merawat pohon dengan memberikan bibit secara gratis, tetapi yang terpenting harus memiliki komitmen yang kuat untuk melakukan upaya tersebut. 

Trembesi dan Harapan Baru Kokohnya Sinergi


Bagi Mas Samsul, Green Star Nusantara adalah sebuah sistem untuk upaya menghijaukan dunia kembali, mengatasi pemanasan global, oksigen yang memburuk, dan menyiapkan cadangan air bersih. Dengan makin banyaknya rumah atau apartemen yang dibangun, ruang terbuka pun kian berkurang yang berdampak pada menipisnya stok air di dalamnya karena tak mampu ditembus hujan.

Peran yang dilakukan Mas Samsul dan Green Star Nusantara sungguh amat menginspirasi. Kita semua pasti setuju dengan pernyataan yang disebutkan dalam  kata pengantar buku Bumiku Sehat Aku Gembira bahwa Bumi kita semakin tua, semakin memerlukan perawatan yang intensif agar tetap "ceria" dan sehat di masa tuanya. Obatilah Bumi, rawatlah ia dengan penuh kasih sayang.