Tampilkan postingan dengan label anugerah pewarta astra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label anugerah pewarta astra. Tampilkan semua postingan

 Di saat banyak orang bisa begitu mudahnya mengakses buku, baik itu dalam bentuk fisik ataupun di internet, nyatanya, masih ada beberapa daerah di Indonesia yang kesulitan mendapatan kemudahan tersebut. Misalnya saja daerah-daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) di Indonesia.


Gerakan Komunitas Sejumi Anak Batas | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi


Salah satu daerah yang termasuk dalam 3T itu adalah Pulau Sebatik. Pulau yang masuk Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara ini memang cukup unik. Secara pemerintahan, pulau ini terbagi dua, sebelah utara merupakan wilayah Malaysia, sedangkan sebelah selatan masuk dalam wilayah Indonesia. 


Anak-anak yang ada pulau ini mengalami kesulitan untuk bisa dengan mudah mengakses buku. Kondisi itulah yang menggerakkan Suprianto Haseng untuk mendirikan Komunitas Sejumi, atau Sejuta Mimpi Anak Batas. 


Dengan komunitas tersebut, Suprianto dan para pemuda lainnya bergerak menyebarkan literasi dari desa ke desa. Komunitas ini membuka lapak pustaka keliling dari desa ke desa yang ada di Pulau Sebatik.


Berawal dari Sulitnya Akses Buku dan Internet


Bisa dibilang, Suprianto merupakan salah satu dari putra daerah Pulau Sebatik yang beruntung bisa berkuliah di Jakarta. Saat kuliah, adik-adik dan pemuda lain di desanya melihat betapa mudahnya Suprianto bisa mengakses buku dan internet.


“Motivasi saya adik-adik saya di perbatasan ini. Mereka bingung di mana mendapatkan buku-buku ini sedang di Sebatik sendiri tidak ada toko buku. Mengharapkan akses internet saja susah,” cerita pria yang lahir di Malaysia dan besar di Pulau Sebatik.


Bahkan Suprianto ingat sewaktu ia berkuliah di Jakarta, setiap hari ia bisa dihubungi oleh adik-adiknya di Sebatik yang meminta dikirimi buku-buku. Di situlah ia dan beberapa pemuda pemudi di Sebatik mulai bergerak. 


“Kalau bukan kita siapa lagi gitu kan. Mengharapkan orang lain juga nggak mungkin,” cetus Suprianto. 


Suprianto Haseng | Sumber foto: Instagram @suprianto_haseng


Karena itulah, ia berinisiatif mengajak teman-temannya untuk mengumpulkan buku-buku layak baca yang lalu dikirimkan ke daerah-daerah. Itulah awal cerita berdirinya Komunitas Sejumi, Sejuta Mimpi Anak Batas. 


Saat itu di awal tahun 2017, saat ia masih berkuliah di Jakarta, Suprianto mendirikan Komunitas Sejumi dan ingin mewujudkan mimpi adik-adiknya di Pulau Sebatik untuk bisa mendapatkan akses pendidikan yang layak.


Hingga tahun 2020, Suprianto terus melakukan aksi tersebut dengan setiap bulannya mengirimkan buku-buku ke daerah pedalaman Sebatik, juga daerah-daerah lainnya. Aksinya ini banyak didukung oleh PT Pos Indonesia. 


“Pada awalnya sulit menyebarkan seperti itu. Jadi sekitar dua tahun setengah itu kita dibantu PT Pos Indonesia. Karena kita bisa menyebar buku-buku ke wilayah di Indonesia,” ujar Suprianto. 


Penyerahan buku ke staf Kantor Perwakilan Nunukan untuk dibawa ke daerah perbatasan di Nunukan | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi


Buku-buku yang didapat Suprianto selama ini berasal dari para donatur dan juga relawan yang turut membantu. Lantas untuk menampung buku-buku di Sebatik, komunitas ini lalu membuat rumah baca Teras Perbatasan. Di situlah ia dan para relawan fokus melakukan kegiatan bersama anak-anak dan para pemuda di Sebatik yang bergerak untuk menyebarkan buku tersebut.


Rumah Baca Teras Perbatasan di Sebatik | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi



Membuka Cakrawala Baru Melalui Buku 


Uniknya, kegiatan yang dilakukan Komunitas Sejumi tak hanya terpusat pada rumah baca saja. Selain menyebarkan buku-buku ke daerah lain di sekitar Nunukan, komunitas ini juga berkeliling membuka lapak pustaka ke desa-desa yang ada di Sebatik.


Komunitas juga bergerak menyebarkan buku di sekitar Nunukan | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi


“Rumah baca tidak kami fokuskan seperti kayak  pustaka lainnya gitu kan, di mana anak-anak datang ke rumah baca. Enggak, jadi kita yang gerak. Adik-adik ini yang bergerak dari desa-desa bawa buku gitu. Jadi mereka termotivasi,” terang Suprianto.  


Seiring berjalannya waktu, kini komunitas ini sudah bisa mendapatkan buku tanpa harus meminta-minta ke mana-mana. Sedangkan Suprianto sendiri kini lebih aktif melakukan pendampingan ke sekolah-sekolah. 


Suprianto dengan Komunitas Sejumi ini pun akhirnya mendapatkan penghargaan Apresiasi SATU Indonesia Awards pada tahun 2023 di Tingkat Provinsi Kalimantan Utara. 


“Arti penghargaan ini kalau makna bagi saya luar biasa sekali. Apalagi buat adik-adik saya sebenarnya, bukan buat saya  pribadi. Karena kalau bukan karena mereka, gerakan ini tidak akan terwujud,” aku Suprianto. 


Kini ia puas bisa melihat banyak adik-adiknya di Sebatik khususnya dan juga Nunukan bisa tersenyum bahagia dengan kedatangan buku-buku yang ada. Ia berharap ke depannya, bisa lebih banyak lagi teman-teman lain yang ikut bergabung dengan aksi seperti itu. 


Antusiasme anak-anak yang bahagia mendapatkan buku | Sumber foto: Instagram @gerakan_sejumi

“Nggak cuma satu daerah, minimal tiap-tiap daerah ada lah seperti itu. Jadi gerakan ini bisa seperti institusi gitu lah. Dan adik-adik juga bisa mewujudkan cita-cita mimpi mereka yang terhambat karena bisa dibilang tidak ada perhatian sama sekali,” pungkas Suprianto. 

Dari 10 hingga 15 anak yang berkumpul di aula desa, perhatian Gardian tertuju pada seorang anak yang terlihat berbeda dari temannya. Anak itu datang dengan kendaraan bagus. Baju yang ia kenakan pun bermerek.

“Saya sampai terpikir gitu, kelihatannya anak ini mampu. Tapi kok nggak sekolah, putus sekolah gitu,” kenang Gardian yang saat itu merasa heran.


Sebelumnya, pria yang memiliki nama lengkap Gardian Muhammad Abdullah ini berpikir bahwa penyebab masalah putus sekolah pada anak-anak biasanya identik dengan faktor ekonomi.


Gardian pun sadar bahwa fakta dan realitanya, masalah pendidikan tidak hanya terbatas pada masalah ekonomi. Ia menjumpai banyak orang di masyarakat yang cenderung menengah ke atas atau kaya raya, tetapi tetap memilih untuk putus sekolah. Mereka menganggap pendidikan itu tidak terlalu penting.


“Ternyata memang ada fakta di desa itu. Nggak cuma itu saja, bahkan kesadaran untuk menganggap pendiidkan itu penting juga masih sangat kurang,” ungkap Gardian yang kini menjabat sebagai CEO Gerakan Mengajar Desa.


Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Berawal dari Keprihatinan 


Bisa dibilang, masa remaja seorang Gardian tidaklah seperti anak-anak seusia pada umumnya. Sejak SMA saja, pria kelahiran 15 Agustus 2000 ini sudah mengamati dengan cermat betapa kondisi daerah Cianjur, tempatnya tinggal, begitu memprihatinkan.


Di tahun 2018 itulah, Gardian bersama beberapa temannya mulai merintis Gerakan Mengajar Desa. Ini didasari kondisi yang mereka lihat bahwa waktu itu pendidikan di Kabupaten Cianjur masih jauh dari kata bagus.


Bahkan menurut data Indeks Pembangunan Manusia atau IPM dari seluruh kabupaten di Jawa Barat waktu itu, Kabupaten Cianjur berada di peringkat paling bawah.


Cianjur sendiri merupakan sebuah kabupaten yang cukup besar wilayahnya. Kabupaten ini terdiri dari 32 kecamatan, 6 kelurahan, dan 354 desa. Bahkan jarak antara ujung Cianjur ke pusat kota, masih lebih dekat dengan kota lain, yaitu ke Bandung.


Gardian Muhammad. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

“Akhirnya dianalisa apa yang menyebabkan IPM Cianjur seburuk itu. Dan akhirnya kita sepakat melakukan gerakan pendidikan desa,” cetus pria lulusan Universitas Diponegoro jurusan Program Studi Informasi dan Hubungan Masyarakat.


Latar belakang Gardian yang mengaku asli orang desa membuatnya mampu melihat kondisi pendidikan di desanya yang sangat memprihatinkan. Ayah Gardian sendiri adalah seorang guru SMP. Sejak kecil, ia kerap diajak ayahnya mengajar di sekolah. 


Oleh karena itulah, Gardian jadi terbiasa melihat kondisi pendidikan di sekitarnya yang mengalami ketimpangan terasa mencolok. Padahal letak geografis mereka relatif dekat dengan ibukota provinsi. Gardian merasa ada yang harus dibenahi saat melihat fakta semacam ini.


Jangkauan Meluas Hingga Puluhan Provinsi


Berawal dari kondisi di Cianjur, Gardian lantas berpikir bahwa ketimpangan pendidikan yang ada memang harus diperbaiki. Apalagi khususnya terhadap pola pikir pendidikan.


“Banyak dari masyarakat yang menganggap pendidikan itu hanya annual report atau laporan tahunan,” imbuh Gardian.


Karena itulah, ia lantas memutuskan membuat Gerakan Mengajar Desa di tahun 2018. Gerakan pendidikan ini fokus pada pemberdayaan pemuda dan masyarakat.


Gerakan Mengajar Desa mendapat respon positif dari masyarakat. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

Awalnya Gerakan Mengajar Desa bergerak di Kabupaten Cianjur saja. Namun ternyata respon di Kabupaten Cianjur cukup luar biasa. Hingga akhirnya Gardian berpikir bahwa masalah pendidikan sebetulnya tidak bisa dibatasi dengan urusan geografis saja.


Di tahun kedua, Gerakan Mengajar Desa melebarkan jangkauan hingga ke tingkat provinsi yang hadir di 27 kabupaten dan atau kota. Bahkan jumlah relawan waktu itu sudah mencapai 2.200 orang. Hingga kini sudah ada puluhan ribu relawan yang tersebar di 144 kabupaten dan kota serta 30 provinsi yang ada di Indonesia.


Pendidikan Berujung pada Masalah Kesadaran


Pada dasarnya program Gerakan Mengajar Desa muncul untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Seperti halnya kisah Gardian yang pernah menjumpai seorang anak yang terlihat mampu secara ekonomi, tetapi ternyata lebih memilih putus sekolah.


“Pada saat itu merasa kaget, ada salah satu siswa yang putus sekolah ini datang ke aula desa menggunakan kendaraan yang bagus pakai baju branded,” tutur Gardian.


Ia lalu mendekati anak tersebut dan mencoba mengajak bicara. Ternyata jawaban anak tersebut, ia putus sekolah karena orangtuanya sudah kaya. Saat kelak dewasa, ia tinggal melanjutkan usaha orangtuanya dan otomatis sudah kaya.


Hal inilah yang menjadi penyebab lain dari masalah pendidikan. Anak putus sekolah tidak hanya karena faktor ekonomi. Melainkan juga keberadaan faktor pola pikir yang ada di masyarakat.


Dampak dari Gerakan Mengajar Desa ini pun cukup signifikan. Menurut Gardian, di Cianjur sendiri gerakan ini sudah menjangkau lebih dari 100 desa.


“Kita kontrol. Ada monitoring dan evaluasi. Ada komunikasi terus. Yang menjadi target adalah anak-anak yang putus sekolah dan anak anak yang sekolah, tapi tidak mendapatkan pendidikan yang layak.”


Maksud dari pendidikan yang layak ini bisa dilihat dari bagaimana proses belajar yang seorang anak alami, kondisi jumlah guru, hingga keberadaan fasilitas penunjang.


Hasilnya, ada testimoni positif dari para alumni yang diajar oleh para pengajar Gerakan Mengajar Desa. Mereka menjadi lebih peduli bahwa pendidikan itu memang sangat penting. Beberapa dari mereka pun ada yang melanjutkan sekolah. Sementara sebelumnya, lebih banyak anak yang harus putus sekolah di saat seharusnya mereka mengenyam bangku SD atau SMP.


Menjadi Pengajar di Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Untuk bisa bergabung di Gerakan Mengajar Desa sendiri, seseorang harus melewati beberapa tahapan hingga sampai di tahap pengabdian. Salah satu tahapan yang dilalui adalah Training of Trainer atau ToT. Tahapan ToT ini merupakan persiapan seseorang untuk melaksanakan pengabdian yang dilaksanakan selama 3 bulan sebelum pengabdian dan 3 bulan setelah pengabdian.


“Jadi selain mengajarkan apa yang harus diajar, kita juga ingin memberdayakan relawan yang tergabung pada kita biar lebih optimal. Punya life skill yang bagus,” terang Gardian yang tahun 2023 lalu meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi untuk kategori Pendidikan.

Dua tahun terus-menerus menanam lidah buaya atau aloe vera bukanlah hal yang mudah bagi Alan Efendhi dan ibunya yang bernama Sumarni. Pada tahun 2014, mereka menanam lidah buaya di lahan pertanian produktif. Hal tersebut menjadi pemandangan aneh bagi warga sekitarnya di Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul, Yogyakarta.


Begitu getolnya menggeluti budidaya lidah buaya, mereka sampai-sampai dicemooh akan makan dan membuat gudeg lidah buaya oleh warga sekitar lantaran terus menanam tanaman khas gurun tersebut.


Alan Efendhi penyulap lahan tandus dengan lidah buaya | Dok. Alan Efendhi

Dua tahun berlalu, ketika jumlah lidah buaya yang ada mencukupi untuk diolah, Alan pun mulai bergerak memproduksi minuman sehat dengan mengandalkan bahan baku lidah buaya.


Akhirnya, dengan mengusung merek Rasane Vera, Alan dan sang ibu membuat minuman berbahan baku lidah buaya. Minuman ini tak hanya disukai karena menyegarkan, tetapi juga kandungan gizinya yang cukup tinggi.


Uniknya, Alan yang meraih SATU Indonesia Awards 2023 di bidang kewirausahaan ini mengaku tidak punya latar belakang ilmu formal di bidang bisnis ataupun pertanian. Ia mempelajari semuanya secara otodidak dari orang-orang yang dianggapnya sudah senior di bidang ini.

 

Alasan Membuat Usaha Berbahan Lidah Buaya


Budidaya lidah buaya di lahan tandus Gunungkidul | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv

Sebetulnya ada kondisi yang kurang menguntungkan sekaligus peluang yang dilihat Alan. Pada awal merintis usaha, ibunya memang hanya menuruti permintaan Alan untuk bersabar menanam lidah buaya di lahan produktif milik mereka.


Namun bagi Alan sendiri, ia punya alasan mengembangbiakkan lidah buaya di kampung halamannya. Ya, sudah banyak orang yang tahu seperti apa kondisi alam yang tandus di Gunungkidul. Hal itulah yang melatarbelakangi Alan, yakni perasaan prihatin melihat lingkungan di daerah tersebut.


“Karena Gunungkidul notabene tempatnya kering, susah air, terus tanah pertaniannya juga tadah hujan. Tanahnya tandus, lahan enggak produktif,” demikian Alan berdalih.


Hal itu mendorong Alan untuk memiliki sebuah usaha atau kegiatan yang bisa membawa dampak positif bagi lingkungan tempat ia tinggal.


Belum lagi kondisi miris ibu-ibu petani di desanya yang selama musim kemarau tak bisa bekerja sebab lahan pertanian mereka jadi tidak produktif.


Ibarat pepatah blessing in disguise, kondisi seperti itu justru membawa berkah. Lahan kering sangat cocok ditanami lidah buaya. Tanaman khas gurun ini memang cukup kuat bertahan hidup di lahan yang minim air.


Tanaman lidah buaya yang ditanam Alan dan ibunya lalu diolah menjadi minuman sehat. Ia membuktikan kepada masyarakat di sekitarnya bahwa ia bisa mengolah lidah buaya, mengembangkan produk, bahkan akhirnya membutuhkan banyak bahan baku.


Alan juga memastikan bahwa ia membeli lidah buaya dengan harga pasti dari para petani. Hal ini membuat para petani tergerak untuk membudidayakan tanaman serupa dan bermitra dengannya.

 

Mampu Menggerakkan Ekonomi Masyarakat

Untuk bisa terus mendapatan pasokan bahan baku, semakin hari Alan akhirnya membentuk petani mitra. Hingga kini sudah ada sekitar 150 lebih petani yang bermitra dengannya. Bahkan tidak hanya di Gunungkidul, tetapi juga di beberapa daerah lain di Yogyakarta, seperti Bantul dan Bayat.


“Sehingga di 2018, mulai banyak petani yang saya jadikan mitra untuk jadi anggota. Nantinya ketika mereka panen bisa saya serap, kepastian dibelinya itu jelas,” tutur Alan mantap. 


Beberapa petani yang bermitra dengan usaha Mountvera Sejati milik Alan ada yang berada dalam KWT atau Kelompok Wanita Tani, dan ada juga yang bermitra secara individu.


Adapun untuk proses produksi, Alan memiliki beberapa pegawai yang semuanya adalah kaum ibu di sekitar tempatnya tinggal. Mereka terbagi menjadi bagian budidaya panen, ada yang menangani setoran masuk ke pabrik, pengolahan lidah buaya, hingga bagian pengemasan dan pemasaran.


Para ibu di lingkungan sekitar usaha yang bekerja mengolah lidah buaya | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv


Selain Mountvera Sejati yang menaungi merek Rasane Vera, Alan juga menggagas wisata edukasi. Ia membuka kelas edukasi bagi siapa saja yang mau belajar budidaya lidah buaya dengannya.


Keberadaan wisata edukasi pada akhirnya mampu membuka peluang meningkatnya pendapatan masyarakat setempat. Mulai dari warung sampai tukang parkir, semuanya terdampak secara positif berkat kehadiran wisata edukasi yang digagas oleh Alan.

 

Berkat Mereka yang Tidak Bisa Konsumsi Gula

Alan dan ibunya merintis pembuatan minuman sehat berbahan baku lidah buaya dengan beberapa varian. Ada produk lidah buaya yang menggunakan stevia, gula batu, hingga madu klanceng. Menurutnya, semua produk tersebut dibuat dengan menyesuaikan target market masing-masing.


                         Lezatnya produk Rasane Vera | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv


Khusus Rasane Vera dengan pemanis stevia adalah produk baru yang dirilis tahun 2019. Target marketnya adalah mereka yang tidak bisa minum manis, apalagi yang berkalori tinggi.


Bahan baku stevia sendiri ia dapat dari mitranya yang menanam di daerah Sleman dan Tawangmangu. Ia membelinya secara online berupa daun kering. Pemanis alami ini terbukti cukup digandrungi.


Alan melihat adanya peluang pasar yang belum dimanfaatkan. Menurutnya, ada konsumen yang ingin juga bisa menikmati produk lidah buaya tetapi khawatir dengan gula yang memiliki kalori tinggi. Di sinilah lidah buaya menjadi solusi karena rendah gula dengan kandungan manfaat kesehatan yang besar.


Pemberdayaan produktif

Hingga kini, siapa pun bisa menjumpai produk Rasane Vera milik Alan di hampir seluruh toko oleh-oleh di Yogyakarta, selain juga bisa dibeli secara online. Spirit dan optimisme seolah terpatri dalam setiap kemasan lidah buaya yang dibeli para turis atau pelancong sebagai buah tangan. 


Ada semangat pemberdayaan dalam usaha Alan | Sumber foto: IG @efendhi_alan.rv


Keberhasilan Alan dalam budidaya lidah buaya padahal semula dicemooh layak dicatat dengan tinta emas. Bahwa dalam kesuksesan terkandung perjuangan dan sikap tahan banting. Dan bahwa kewirausahaan bisa dimulai dari mana pun dengan memanfaatkan potensi lokal, dalam hal ini tanah tandus, dan membangun kolaborasi untuk memajukan daerah setempat.


Tak heran jika PT Astra International Tbk mengganjarnya dengan penghargaan prestisius karena telah mampu menggerakkan ratusan orang mitra petani binaan, yang tersebar di Kabupaten Gunung Kidul, Klaten, Bantul, hingga Sleman. Semangat pemberdayaan terpancar kuat sebagai value utama, terbukti dari dorongannya kepada mitra yang mahir untuk menjalankan usaha minuman sehat secara mandiri, terutama kaum perempuan yang semakin produktif. 

Para pengendara mobil atau motor yang menyusuri jalan raya sepanjang Tikung (Lamongan) hingga Ploso (Mojokerto) menuju Diwek (Jombang) di Jawa Timur mungkin akan merasa akrab dengan pemandangan indah jajaran hutan jati, pepohonan kayu putih, tebu, sorgum, persawahan, dan pinggiran Sungai Brantas. 

 

Santri adalah salah satu generasi penting bagi masa depan Indonesia. (Foto: IG Ponpes Fathul Ulum)


Pada musim kemarau, pemandangan tampak agak memerah karena tanaman dan rerumputan sebagian besar kering dan meranggas. Hal yang tersuguh di depan mata seperti tak jauh beda dengan pemandangan musim gugur di Pennsylvania, Amerika. Mungkin yang membedakan hanya cuaca terik yang “kenthang-kenthang” hingga terasa menyengat kulit meski sudah memakai sunblock (tabir surya).

 

Jalur Lamongan-Jombang yang dihiasi hutan jati meranggas di musim kemarau. (Foto: Pribadi)


Salah satu hal yang menarik perhatian adalah pemandangan figur-figur yang mengelola hutan dan persawahan sepanjang jalur perjalanan itu. Mereka tampak sudah setengah baya, atau bahkan sebagian besar sudah mulai sepuh. Tak banyak tampak anak muda yang ikut bergelimang tanah atau tanaman di sana. 


Mungkin pemandangan ini juga yang mengusik batin seorang Rizki Hamdani, peraih Apresiasi 11th Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2020 kategori bidang lingkungan sebelum akhirnya ia membuat sebuah gebrakan untuk mengangkat citra petani muda milennial berwawasan ramah lingkungan.


 Rizki Hamdani. (Foto: Satu Indonesia Awards)


Berawal dari Keresahan Berujung Upaya untuk Memberdayakan


Rizki yang merupakan putra asli Bireun, Aceh mungkin tak pernah menyangka jalan hidupnya akan sampai pada fase di mana ia bertempat tinggal di Jombang, daerah yang sangat dikenal sebagai Kota Santri. Ketika ikut serta temannya untuk sambang saudaranya ke pondok pesantren di kota ini, hatinya tertambat pada Silvia Nur Rochmah, seorang santri cantik asal Jombang yang kelak menjadi istrinya. 


Setelah pernikahan telah berjalan beberapa waktu, ia memutuskan untuk mundur dari tempat bekerjanya di Jakarta. Ia kemudian pindah ke Jombang, daerah tempat kelahiran istrinya, dan mulai berwirausaha dengan melakukan budidaya ikan lele yang kemudian berkembang dengan sangat baik.


Pada masa-masa itulah, ia sering berkeliling di daerah sekitar tempat tinggalnya dan menyaksikan dunia pertanian yang semakin lama semakin terpinggirkan akibat tidak ada regenerasi para petani yang telah berusia senja. Petani di mana pun memang menjadi sebuah profesi yang saat ini sangat krusial, dalam artian rumit, tetapi sangat menentukan kehidupan masyarakat. 

 

Sawah menanti untuk ditanami bibit padi. (Foto: IG Ponpes Fathul Ulum)


Melihat fenomenanya, banyak generasi muda yang cenderung kekurangan minat di dunia pertanian. Mereka menghindari profesi petani karena telanjur identik dengan pekerjaan yang kasar, kurang keren, dan dianggap belum dapat dijadikan sebagai sandaran hidup. Anak-anak muda lebih banyak yang memilih untuk menjadi karyawan atau buruh di pabrik ketimbang menjadi petani. 


Hati kecilnya terketuk. Bagi Rizki, keadaan ini sangat mengkhawatirkan karena jika diabaikan masa depan pertanian terlihat sangat suram. Padahal pertanian adalah penghasil makanan dan kehidupan bagi umat manusia. Potensi bidang pertanian juga sangat besar di mana Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia di sektor agribisnis ini sangat tinggi.


Ia merasa garis takdirnyalah yang mempertemukannya dengan beberapa santri dari Pondok Pesantren Fathul Ulum atau dikenal dengan Pondok Gardu Laut. Mereka sering datang untuk melihat, berkunjung, dan akhirnya belajar di tempat Rizki membudidayakan lele. 

 

Rizki dan para santri binaannya. (Foto: Kukuh Bhimo Nugroho)


Mereka ternyata juga melakukan budidaya yang sama di pondok pesantren (ponpes) tempat mereka mondok. Kabar tentang aktivitas mereka akhirnya sampai kepada pengasuh Pondok Pesantren Fathul Ulum, KH Ahmad Habibul Amin (Kiai Amin). Mereka pun kemudian sepakat untuk bertemu dan membicarakan usaha tersebut.


Pertemuan yang Membangkitkan Semangat Untuk Hari Ini dan Masa Depan Indonesia


Pesantren Fathul Ulum termasuk kategori pesantren salaf dan (saat ini) memiliki sekitar 340 santri putra dan putri. Pondok pesantrennya terletak sekitar delapan kilometer arah selatan makam KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau tepatnya di Desa Puton, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Pondok pesantren yang lokasinya dekat dengan perkampungan ini sebelumnya sudah memiliki wirausaha, tetapi belum berkembang. 


Menurut Rizki, pondok pesantren yang jumlahnya cukup banyak, termasuk di Jombang, Jawa Timur bisa menjadi target yang potensial untuk meregenerasi sistem pertanian. Tetapi saat itu ia masih belum membuat konsepnya secara sistematis.


Pada pertemuan atau kunjungan pertama di tahun 2016 itu, Rizki dan Kiai Amin setuju untuk saling berkolaborasi atau bekerja sama serta berbagi peran. Rizki diminta membantu untuk membangun sisi entrepreneur di kalangan santri yang sudah dirintis Kiai Amin agar beliau bisa fokus pada sisi pendidikan para santri di pondok pesantren tersebut. 

 

Rizki dan Kiai Amin saling sinergi dan kolaborasi. (Foto: Kukuh Bhimo Nugroho)


Rizki yang merupakan alumnus Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta menjadi ”konsultan” tidak resmi bagi santri Ponpes Fathul Ulum selama beberapa tahun. Kiai Amin mempercayakan Rizki Hamdani untuk menjalankan program santripreneur dan pesantrenpreneur karena melihat sosok Rizki yang kapabel dan terbukti jujur serta istiqamah atau pantang menyerah.


Sinergi dan kolaborasi dari keduanya di kemudian hari melahirkan banyak pencapaian yang melahirkan berbagai manfaat, baik bagi santri di pondok pesantren Fathul Ulum maupun masyarakat sekitarnya.


Menggugah Santri Untuk Menjadi Petani dan Pengusaha Milenial yang Sadar Lingkungan


Pada tahun 2018, Ponpes Fathul Ulum masuk dalam program Desa Sejahtera Astra (DSA). Pengaruh dari program santripreneur dan pesantrenpreneur itu ternyata menjadikan Ponpes Fathul Ulum berhasil meraih juara III dalam KBANNOVATION dengan tema ”Inovasi Kita, Inspirasi Negeri” pada tahun 2019. 


Desa Sejahtera Astra (DSA) di Ponpes Fathul Ulum itu merupakan program yang termasuk program berkelanjutan dari pemerintah dan juga menjadi salah satu program Corporate Social Responsibility (CSR) yang diberikan oleh Astra Internasional kepada beberapa pondok pesantren, salah satunya Ponpes Fathul Ulum Jombang, Jawa Timur.


Para santri tengah berkebun. (Foto: IG Ponpes Fathul Ulum)


Selanjutnya, Rizki membantu membuatkan konsep pengembangan santripreneur (santri yang berjiwa pengusaha) dan pesantrenpreneur (pesantren yang menjadi kekuatan ekonomi) dengan menambahkan sosiopreneur untuk aktivitas santri di pesantren yang memberi manfaat bagi masyarakat di sekitar ponpes tersebut. 


Oleh karena itulah, muncul gagasan atau ide untuk membentuk sebuah kelompok wirausaha bernama Kelompok Santri Tani Milenial (KTSM) di Pondok Pesantren Fathul Ulum, Jombang. Rizki bersama ponpes tersebut menggerakkan program untuk mengelola usaha pertanian ramah lingkungan atau disebut dengan Sistem Pertanian Terpadu (Integrated Farming System/IFS). 


Sistem pertanian terpadu di KTSM ini memadukan komponen pertanian, perikanan, peternakan, dan lingkungan. Misalnya, limbah air kolam ikan lele disalurkan sebagai pupuk tanaman atau mengembangkan batang pohon sorgum untuk pakan ternak. Pengolahan limbah ini memiliki keuntungan ganda, baik dari sisi pelestarian lingkungan maupun pemberdayaan ekonomi. Pembuatan pupuk organik ini juga sangat mendukung kemandirian Ponpes Fathul Ulum, terutama setelah didukung dan dibina oleh Yayasan Bengkel Bumi Indonesia.

 

Santri tidak lagi mengandalkan pupuk dari pabrik. (Foto: Kukuh Bhimo Nugroho)


Dalam perjalanannya menggerakkan program KTSM, Rizki Hamdani juga memperhatikan segi sosiopreneur, yaitu aktivitas santri di pesantren yang memberi manfaat bagi masyarakat di sekitar ponpes tersebut, khususnya terhadap lingkungan. Selain penggunaan Sistem Pertanian Terpadu atau Integrated Farming System (IFS), upaya Rizki untuk meningkatkan kualitas lingkungan juga dengan membina para santri menanam 90 ribu bibit sengon yang dibagikan gratis untuk masyarakat di tiga desa. 


Terkait upaya ini, Rizki mendapatkan bantuan yang berasal dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berkat mediasi salah satu anggota anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi pertanian, lingkungan hidup dan kehutanan serta kelautan dan perikanan.


Melalui mediasi tersebut, KSTM mendapat bantuan program Kebun Bibit Rakyat senilai Rp350 juta untuk pengadaan 210 ribu bibit sengon dan jati. Bantuan dibagi buat tujuh kelompok KSTM, di mana para santri di tujuh pesantren bertugas menyiapkan bibit-bibit tersebut, termasuk 90 ribu bibit sengon di Fathul Ulum tadi.

 

Rizki, Kiai Amin, dan beberapa santri Ponpes Fathul Ulum. (Foto: Kukuh Bhimo Nugroho)


Rizki juga mendapatkan berbagai dukungan, di antaranya dari Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai serta Hutan Lindung Brantas, Bupati Jombang, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Gubernur Khofifah dengan program One Pesantren One Product (OPOP) yang memiliki tiga pilar yakni santripreneur, pesantrenpreneur, dan sosiopreneur


Bersinergi dan Berkolaborasi Demi Mencetak Generasi Anfa’ (Lebih Berdaya dan Bermanfaat)


Rizki yang kini  telah dikaruniai tiga orang anak itu selalu rutin datang ke Ponpes Fathul Ulum. Ia telah diberi amanah oleh Kiai Amin sejak 2016 dan berkomitmen untuk membantu mengelola dan sekaligus membimbing para santri agar piawai bertani dan beternak sekaligus mengajarkan manajemen usahanya. Amanah ini dilakoni Rizki sepenuh hatinya karena ia mengakui telanjur jatuh cinta pada dunia wirausaha dan pertanian.

 

Santri memiliki waktu khusus untuk mengurus wirausahanya. (Foto: Kukuh Bhimo Nugroho)


Rizki dan Kiai Amin bersepakat bahwa para santri harus menjadikan Ponpes Fathul Ulum sebagai laboratorium demi menemukan dan mengasah gairah pertanian mereka. Tujuannya, agar mereka kelak bisa menjadi pengusaha mandiri yang justru membuka lapangan kerja dengan mempekerjakan orang dan bukan sebagai pencari kerja. Pesantren juga harus memiliki usaha produktif agar para santri bisa memperoleh penghasilan sendiri dan tidak selalu bergantung pada kiriman orangtuanya.

 

Puluhan sapi dirawat oleh para santri. (Foto: Kukuh Bhimo Nugroho)


Pondok Pesantren Fathul Ulum yang juga dikenal dengan nama Pondok Gardu Laut ini merupakan ponpes pertama yang menjadi proyek percontohan. Tidak semua ponpes melakukan seluruh empat komponen usaha karena disesuaikan dengan bidang dan kapasitasnya masing-masing. Oleh karena itu, keuntungan yang diperoleh setiap ponpes pun berbeda-beda.


Ponpes Fathul Ulum memiliki kandang dan lahan pertanian di areal pesantren seluas 2,5 hektare. Para santri setiap hari beraktivitas memelihara dan mengurus sekitar 250 bebek pedaging, 30 kambing, 16 sapi potong, berbagai jenis ikan seperti ikan patin, lele, nila, dan mujair di 40 kolam bioflok atau kolam buatan beralas terpal berdiameter 4 meter dan kedalaman 1 meter. 

 

Kolam-kolam bioflok tempat memelihara ikan. (Foto: IG Ponpes Fathul Ulum)


Ada pula santri yang menanam tomat, cabe, terong, kol, bibit durian juga sengon. Para santri beraktivitas bertani, berkebun, atau beternak setelah selesai kegiatan shalat Subuh dan mengaji. Mereka mengikuti jadwal atau ritme yang telah disesuaikan agar kegiatan mencari ilmu dan usaha tersebut dapat dilakukan dengan pola saling mendukung satu sama lain.


Hal yang tak kalah penting adalah ketika para santri tersebut lulus, mereka tidak dilepas begitu saja. Mereka mendapat bantuan modal usaha di bidang pertanian, perkebunan, atau peternakan serta disiapkan pula life skill-nya agar dapat mandiri saat kembali ke masyarakat. Hal tersebut demi menghindari ketergantungan mereka terhadap pemberian orang ketika melakukan syiar atau dakwah. Mereka tidak akan menjadikan ayat-ayat Allah sebagai alat transaksional, seperti saat diminta ceramah, mereka tidak akan berharap mendapatkan amplop atau bayaran.


Di samping berwirausaha, Rizki juga menjadi Koordinator Fasilitator Lokal Desa Sejahtera Astra Pondok Pesantren Wilayah Jawa Timur. Ia bekerja sama dengan pondok pesantren menyediakan fasilitas berupa kolam, bibit, dan pakan ikan. Para santri juga diberi kebebasan memilih bidang sesuai passion dan tidak ada paksaan. Mereka diharapkan sudah memiliki usaha sendiri ketika lulus pesantren dan kembali ke masyarakat.


Ketika mereka memilih suatu bidang yang mereka minati, mereka akan dibantu melalui diskusi untuk membuat rancangan usaha, besaran modal, analisis keuntungan maupun kerugiannya beserta risikonya. Melalui program Kelompok Santri Tani Milenial ini, Rizki juga memutus mata rantai distribusi atau perdagangan yang selama ini terlalu panjang. Tujuannya agar santri bisa mendapatkan penghasilan yang lebih baik ketika masa panen tiba. Misalnya, mereka bisa langsung menjual hewan ternaknya ke rumah potong hewan tanpa harus melalui tengkulak.


Santripreneur Bergulat dengan Tantangan dan Harapan


Rizki bersama pondok pesantren juga membentuk Badan Usaha Milik Pesantren (BUMP). Lembaga ini dibuat dengan tujuan memisahkan harta kekayaan milik pesantren dengan harta milik kiai (pengasuh ponpes) sehingga tidak saling bercampur aduk dan bisa menjadikan pesantren lebih mandiri. BUMP juga bukan bertujuan sekadar mencari keuntungan, tetapi hal yang lebih utama adalah mencetak santripreneur andal.


Nikmati mengaji, nikmati pula dunia peternakan. (Foto: Kukuh Bhimo Nugroho)


Para santri yang mengikuti program KTSM akan mendapatkan hasil dari penjualan panen mereka. Pembagian tersebut memiliki besaran 35% untuk santri, 25% untuk Badan Usaha Milik Pesantren (BUMP), 30% untuk investor, dan 10% untuk infak. Mereka juga tentu tak lupa mengeluarkan zakat sesuai dengan ilmu agama yang telah diajarkan di pondok pesantren.


Sedekah (infak) ini diberikan untuk menyubsidi para santri kecil-kecil atau santri yang berasal dari kalangan kurang mampu secara ekonomi. Dengan demikian, mereka benar-benar menerapkan prinsip yang diajarkan di pondok pesantren yang menyatakan bahwa manusia yang terbaik adalah mereka yang anfa’ atau memberi manfaat lebih bagi manusia lainnya. 


Di sisi lain, pesantren salaf (khusus mempelajari ilmu-ilmu agama Islam) yang masih dipandang mayoritas masyarakat sebagai pesantren kelas dua karena tak memiliki pendidikan umum (formal) sebagaimana pesantren modern turut terangkat melalui program ini. Adanya santripreneur dan pesantrenpreneur di Ponpes Fathul Ulum menunjukkan bahwa pesantren salaf juga sangat layak dipertimbangkan. 


Santri tetap bisa memperoleh ijazah SD, SMP, atau SMA, melalui program kelompok belajar (kejar) atau pendidikan kesetaraan. Penerapan santripreneur juga membuat dua universitas di Jombang tertarik dan memberikan beasiswa untuk kuliah di Fakultas Pertanian, yaitu di Program Studi Teknologi Pertanian Universitas KH Wahab Hasbullah (Unwaha) dan di Program Studi Agribisnis Universitas Darul ‘Ulum (Undar). 


Biaya hidup sebulan di pesantren, termasuk biaya belajar, mondok, makan, dan membeli berbagai keperluan seperti sabun dan odol tercukupi dari hasil wirausaha para santri tersebut di unit usaha BUMP. Rata-rata sebulan mereka bisa mendapat bagi hasil Rp500 ribu sampai Rp1 juta tergantung hasil panen dan kondisi pasar. Mereka juga bisa menabung dan mempergunakan uangnya untuk keperluan mengaji atau kuliah, seperti membeli buku atau fotokopi.

 

Para santri bisa mandiri dengan berwirausaha pertanian. (Foto: Ponpes Fathul Ulum)


Para santri yang bergabung dengan KTSM kini semakin mandiri dan tidak mengandalkan kiriman dari orangtuanya karena kebutuhannya sudah dicukupi dari hasil wirausaha mereka. Omzet yang dihasilkan oleh para santri Pondok Pesantren Fathul Ulum bisa mencapai ratusan juta per bulan. Bahkan kelompok tani sorgum bisa meraih omzet hingga Rp60 juta per bulan. Hal tersebut dicapai setelah mereka diberi fasilitas pengolahan pascapanen untuk menjual produk olahan sorgum di area peristirahatan (rest area) di Tol Trans Jawa.


Ada sekitar 40 KSTM –di mana satu KSTM beranggotakan 15-20 orang– dari sekitar 20 ponpes di Jombang yang telah terdaftar sebagai anggota hingga saat ini. Hal yang menggembirakan, anggota KSTM tersebut tidak terbatas dari para santri yang masih belajar di pondok, tetapi ada juga yang merupakan alumni pondok pesantren. Setidaknya sudah lebih dari 500 santri yang bergabung dalam KTSM ini.


Ikhtiar Rizki yang didukung Kiai Amin menjadikan Ponpes Fathul Ulum proyek percontohan (pilot project) santripreneur dan pesantrenpreneur membuat beberapa pengasuh pesantren salaf lain mulai melirik. Beberapa ponpes yang tergabung di KSTM, di antaranya Pesantren Al-Falah Kecamatan Perak asuhan Kiai Nasichudin, Pesantren Sunan Kalijogo Kecamatan Kesamben asuhan Kiai Nurul Zuhda, Pesantren Fatahul Mubin Kecamatan Wonosalam asuhan Kiai Basuki, dan Pesantren Al-Idrisiyah Kecamatan Megaluh asuhan Kiai Hadiono.


Dukungan dari Kiai Amin yang merupakan pengurus Rabithah Ma’ahid Al-Islamiyah Nahdhatul Ulama (NU) Jawa Timur bidang perekonomian dan kerja sama pesantren memberikan suatu keberuntungan bagi Rizki. Kiai kelahiran Cepu, Jawa Tengah ini tentu memiliki relasi kuat di antara pengasuh pesantren di Jombang. Dukungan tersebut membuat mimpi Rizki melahirkan petani-petani muda andal mulai menampakkan hasil. 

 

Santri masih butuh dukungan, termasuk dalam teknologi pertanian. (Foto: IG Ponpes Fathul Ulum)


Impian untuk berinteraksi dengan para petani milenial yang merupakan kalangan santri diyakini Rizki semata takdir Allah. Ia merasa diberi kemudahan oleh Allah di mana tugasnya justru menjadi lebih ringan karena para santri pasti mengikuti apa yang diperintahkan oleh kiainya, termasuk untuk mempelajari wirausaha pertanian.


Meski demikian, Rizki mengakui bahwa program santripreneur ini pun tak lepas dari berbagai tantangan. Banyak hal yang masih membutuhkan solusi dan penanganan agar program ini dapat terus berlanjut. Beberapa kendala sering dihadapi sehingga membuat para santri perlu mendapat suntikan semangat dan optimisme. 


Kendala yang hingga kini menjadi tantangan Rizki antara lain hasil panen yang mengalami pasang surut sehingga berimbas pada besaran penghasilan para santri, terbatasnya alat atau teknologi pertanian dan peternakan yang digunakan, ancaman gagal panen yang kadang kala di luar kendali sebagaimana halnya cuaca atau hama, serta penanganan sisi psikologi atau kepribadian santri yang masih muda dan masih suka bermain.


Usia mereka yang masih sangat muda dan belum banyak pengalaman hidup membutuhkan bimbingan lumayan besar agar benar-benar dapat menjaga semangat wirausaha mereka. Di sinilah pentingnya sinergi dan kolaborasi pendidikan di pondok pesantren, khususnya Pondok Pesantren Fathul Ulum dengan KTSM. 

 

Santri selalu dibimbing, baik sisi tarbiyah maupun enterpreneur. (Foto: IG Ponpes Fathul Ulum)


Para santri dipersiapkan dari sisi tarbiyah/pendidikan lebih dulu berupa ilmu dan kemandirian, lalu dianalisis sebelum mereka dinyatakan mampu melanjutkan ke program santripreneur. Rizki menyatakan bahwa ia sangat bersyukur dapat membuat program yang tepat sasaran dan memiliki social impact (dampak sosial) yang besar sebagaimana telah mereka rasakan bersama. Saat ini Rizki dan KTSM masih terus mengepakkan sayap dan sedang bekerja sama secara intens dengan Universitas Surabaya (UBAYA) dan beberapa perusahaan.


Apresiasi Astra yang Semakin Mengobarkan Semangat dan Inovasi


Santri dan pondok pesantren telah terbukti menjadi salah satu kekuatan besar sejak masa perjuangan yang rela mengangkat senjata melawan penjajah di bumi Nusantara. Hari Santri yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober adalah salah satu bentuk pengakuan dan penghargaan negara atas peran santri dan kiai di pondok pesantren yang tertuang dalam Keppres RI Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.

 

Kini, perjuangan para santri dan kiai telah berubah bentuknya. Santri dan kiai kini berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan membangun masyarakat dan negara di segala bidang kehidupan. Pondok pesantren masih dianggap sebagai salah satu institusi pendidikan yang dapat diandalkan untuk melahirkan generasi yang memiliki ketinggian akhlak dan keilmuan.

 

Masa depan pertanian Indonesia juga berada di tangan para santri (Foto: Ponpes Fathul Ulum)


Saat ini, santri yang masuk dalam generasi milennial dan gen Z jumlahnya cukup signifikan. Kementerian Agama mencatat bahwa pada 2022/2023, pesantren di Indonesia mencapai 39.043 dengan 4,08 juta orang santri. Jumlah yang besar tersebut memperlihatkan bahwa kedudukan santri dan ponpes juga semakin urgen. 


Semangat Rizki Hamdani dalam melahirkan santripreneur dan pesantrenpreneur melalui KSTM yang kini beranggotakan sekitar 800 santri yang terbagi dalam 40 kelompok dari 20 pesantren salaf di Jombang dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup memang sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dan cita-cita Astra untuk Sejahtera Bersama Bangsa.

 

Rizki dan sapi di lahan peternakan Ponpes Fathul Ulum. (Foto: Rizki Hamdani)


Rizki mengungkapkan bahwa ia sangat bersyukur memperoleh anugerah SATU Indonesia Awards bidang lingkungan tahun 2020. Ia pun berterima kasih kepada PT Astra Internasional Tbk yang menjadi titik awal di mana ia mengembangkan program ini sehingga menjadi seperti sekarang. Kiai Amin sebagai partner Rizki dalam mengelola santripreneur juga mengungkapkan bahwa dengan perjuangan Rizki yang demikian besar, sungguh layak jika ia dianugerahi SATU Indonesia Awards. Rizki sanggup istiqamah karena mengurus santri dan banyak orang secara sosial itu sangat berat dan memang tidak mudah. 


Melihat kontribusi nyata dari Rizki, kita percaya bahwa di luar sana masih terdapat banyak generasi muda yang bisa menjadi agen perubahan ke arah yang lebih baik. Lahirnya petani-petani milennial yang bangga dengan profesinya dan memiliki semangat untuk hari ini dan masa depan Indonesia rasanya kini bukan menjadi angan-angan belaka. Dari bumi Jombang kita berharap para santri yang peduli lingkungan demi kehidupan umat manusia akan mampu menebar manfaat bagi sekitarnya, di mana pun mereka berada.