Gerakan Mengajar Desa Hadir Saat Masalah Pendidikan Bukan Urusan Ekonomi Semata

Dari 10 hingga 15 anak yang berkumpul di aula desa, perhatian Gardian tertuju pada seorang anak yang terlihat berbeda dari temannya. Anak itu datang dengan kendaraan bagus. Baju yang ia kenakan pun bermerek.

“Saya sampai terpikir gitu, kelihatannya anak ini mampu. Tapi kok nggak sekolah, putus sekolah gitu,” kenang Gardian yang saat itu merasa heran.


Sebelumnya, pria yang memiliki nama lengkap Gardian Muhammad Abdullah ini berpikir bahwa penyebab masalah putus sekolah pada anak-anak biasanya identik dengan faktor ekonomi.


Gardian pun sadar bahwa fakta dan realitanya, masalah pendidikan tidak hanya terbatas pada masalah ekonomi. Ia menjumpai banyak orang di masyarakat yang cenderung menengah ke atas atau kaya raya, tetapi tetap memilih untuk putus sekolah. Mereka menganggap pendidikan itu tidak terlalu penting.


“Ternyata memang ada fakta di desa itu. Nggak cuma itu saja, bahkan kesadaran untuk menganggap pendiidkan itu penting juga masih sangat kurang,” ungkap Gardian yang kini menjabat sebagai CEO Gerakan Mengajar Desa.


Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Berawal dari Keprihatinan 


Bisa dibilang, masa remaja seorang Gardian tidaklah seperti anak-anak seusia pada umumnya. Sejak SMA saja, pria kelahiran 15 Agustus 2000 ini sudah mengamati dengan cermat betapa kondisi daerah Cianjur, tempatnya tinggal, begitu memprihatinkan.


Di tahun 2018 itulah, Gardian bersama beberapa temannya mulai merintis Gerakan Mengajar Desa. Ini didasari kondisi yang mereka lihat bahwa waktu itu pendidikan di Kabupaten Cianjur masih jauh dari kata bagus.


Bahkan menurut data Indeks Pembangunan Manusia atau IPM dari seluruh kabupaten di Jawa Barat waktu itu, Kabupaten Cianjur berada di peringkat paling bawah.


Cianjur sendiri merupakan sebuah kabupaten yang cukup besar wilayahnya. Kabupaten ini terdiri dari 32 kecamatan, 6 kelurahan, dan 354 desa. Bahkan jarak antara ujung Cianjur ke pusat kota, masih lebih dekat dengan kota lain, yaitu ke Bandung.


Gardian Muhammad. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

“Akhirnya dianalisa apa yang menyebabkan IPM Cianjur seburuk itu. Dan akhirnya kita sepakat melakukan gerakan pendidikan desa,” cetus pria lulusan Universitas Diponegoro jurusan Program Studi Informasi dan Hubungan Masyarakat.


Latar belakang Gardian yang mengaku asli orang desa membuatnya mampu melihat kondisi pendidikan di desanya yang sangat memprihatinkan. Ayah Gardian sendiri adalah seorang guru SMP. Sejak kecil, ia kerap diajak ayahnya mengajar di sekolah. 


Oleh karena itulah, Gardian jadi terbiasa melihat kondisi pendidikan di sekitarnya yang mengalami ketimpangan terasa mencolok. Padahal letak geografis mereka relatif dekat dengan ibukota provinsi. Gardian merasa ada yang harus dibenahi saat melihat fakta semacam ini.


Jangkauan Meluas Hingga Puluhan Provinsi


Berawal dari kondisi di Cianjur, Gardian lantas berpikir bahwa ketimpangan pendidikan yang ada memang harus diperbaiki. Apalagi khususnya terhadap pola pikir pendidikan.


“Banyak dari masyarakat yang menganggap pendidikan itu hanya annual report atau laporan tahunan,” imbuh Gardian.


Karena itulah, ia lantas memutuskan membuat Gerakan Mengajar Desa di tahun 2018. Gerakan pendidikan ini fokus pada pemberdayaan pemuda dan masyarakat.


Gerakan Mengajar Desa mendapat respon positif dari masyarakat. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)

Awalnya Gerakan Mengajar Desa bergerak di Kabupaten Cianjur saja. Namun ternyata respon di Kabupaten Cianjur cukup luar biasa. Hingga akhirnya Gardian berpikir bahwa masalah pendidikan sebetulnya tidak bisa dibatasi dengan urusan geografis saja.


Di tahun kedua, Gerakan Mengajar Desa melebarkan jangkauan hingga ke tingkat provinsi yang hadir di 27 kabupaten dan atau kota. Bahkan jumlah relawan waktu itu sudah mencapai 2.200 orang. Hingga kini sudah ada puluhan ribu relawan yang tersebar di 144 kabupaten dan kota serta 30 provinsi yang ada di Indonesia.


Pendidikan Berujung pada Masalah Kesadaran


Pada dasarnya program Gerakan Mengajar Desa muncul untuk meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan. Seperti halnya kisah Gardian yang pernah menjumpai seorang anak yang terlihat mampu secara ekonomi, tetapi ternyata lebih memilih putus sekolah.


“Pada saat itu merasa kaget, ada salah satu siswa yang putus sekolah ini datang ke aula desa menggunakan kendaraan yang bagus pakai baju branded,” tutur Gardian.


Ia lalu mendekati anak tersebut dan mencoba mengajak bicara. Ternyata jawaban anak tersebut, ia putus sekolah karena orangtuanya sudah kaya. Saat kelak dewasa, ia tinggal melanjutkan usaha orangtuanya dan otomatis sudah kaya.


Hal inilah yang menjadi penyebab lain dari masalah pendidikan. Anak putus sekolah tidak hanya karena faktor ekonomi. Melainkan juga keberadaan faktor pola pikir yang ada di masyarakat.


Dampak dari Gerakan Mengajar Desa ini pun cukup signifikan. Menurut Gardian, di Cianjur sendiri gerakan ini sudah menjangkau lebih dari 100 desa.


“Kita kontrol. Ada monitoring dan evaluasi. Ada komunikasi terus. Yang menjadi target adalah anak-anak yang putus sekolah dan anak anak yang sekolah, tapi tidak mendapatkan pendidikan yang layak.”


Maksud dari pendidikan yang layak ini bisa dilihat dari bagaimana proses belajar yang seorang anak alami, kondisi jumlah guru, hingga keberadaan fasilitas penunjang.


Hasilnya, ada testimoni positif dari para alumni yang diajar oleh para pengajar Gerakan Mengajar Desa. Mereka menjadi lebih peduli bahwa pendidikan itu memang sangat penting. Beberapa dari mereka pun ada yang melanjutkan sekolah. Sementara sebelumnya, lebih banyak anak yang harus putus sekolah di saat seharusnya mereka mengenyam bangku SD atau SMP.


Menjadi Pengajar di Gerakan Mengajar Desa. (Sumber foto: Instagram @mengajardesa)


Untuk bisa bergabung di Gerakan Mengajar Desa sendiri, seseorang harus melewati beberapa tahapan hingga sampai di tahap pengabdian. Salah satu tahapan yang dilalui adalah Training of Trainer atau ToT. Tahapan ToT ini merupakan persiapan seseorang untuk melaksanakan pengabdian yang dilaksanakan selama 3 bulan sebelum pengabdian dan 3 bulan setelah pengabdian.


“Jadi selain mengajarkan apa yang harus diajar, kita juga ingin memberdayakan relawan yang tergabung pada kita biar lebih optimal. Punya life skill yang bagus,” terang Gardian yang tahun 2023 lalu meraih Apresiasi SATU Indonesia Awards tingkat Provinsi untuk kategori Pendidikan.

0 komentar:

Posting Komentar