DUDUK LESEHAN di saung depan rumah ditemani singkong keju, kacang rebus, atau camilan lain diselingi menyeruput secangkir kopi atau teh saat senja hari sungguh sangat mengasyikkan. Sering kami menjadikan momen tersebut sebagai ajang bertukar pengalaman, berdiskusi, bercanda, atau sekadar curhat. Kompleks perumahan yang mungil mendadak sejuk karena family time berkualitas.
Namun senja itu, momen berkumpul bersama dua krucil agak melow dan membuat kening kami kembali berkerut. Siang sepulang sekolah, Xi sulung telah melaporkan bahwa ia mendapatkan (lagi) perlakuan yang tidak menyenangkan berupa kekerasan fisik (ditendang) dan verbal (diejek) oleh temannya. Kami pun tidak menyia-nyiakan momen itu dengan segera mencari jalan keluar dari masalah tersebut. Ini memang bukan kali pertama ia mengalami perundungan yang cukup serius.
Sejujurnya, dalam hati kami pun merasa marah dan kecewa karena perundungan masih terus terjadi meski ia sudah pindah ke sekolah yang baru. Untuk beberapa hari ke depan, Xi sulung meminta waktu beristirahat di rumah demi mengobati rasa sakit pada fisik, dan tentu juga menata hatinya.
Pascakejadian tersebut, Xi sulung semakin sering curhat dan berkonsultasi mengenai hal-hal yang perlu ia lakukan menghadapi perundungan itu. Kami pun merasa gundah karena saat itu Xi sulung akan menghadapi pekan try out dan ujian akhir sekolah yang membutuhkan konsentrasi dan persiapan menuju jenjang pendidikan berikutnya.
Kami tentu saja melaporkan perundungan tersebut kepada guru dan pihak sekolah. Akan tetapi, respon yang kami dapat justru relatif lebih mengecewakan ketimbang di sekolah yang lama. Entahlah, rupanya memang banyak hal yang harus dibenahi dalam dunia pendidikan dan literasi kita. Ternyata kesadaran (awareness), baik dari orangtua, guru, atau sekolah mengenai perundungan atau bullying ini masih terbilang rendah.
Kami juga bertanya kepada Xi sulung apakah ia mampu untuk menghadapi hal tersebut hingga kelulusan nanti. Ia ternyata mengatakan sanggup mengatasinya dan peristiwa kemarin hanya membuatnya shocked sesaat. Ia berada dalam kondisi tidak siap ketika siswa itu menyerangnya.
“Seandainya aku tahu dia akan menyerang, mungkin aku siap melawan pakai jurus taekwondo, Bunda. Dia menyerang dengan tiba-tiba saat aku sedang mengobrol dengan temanku yang lain,” ujarnya sambil nyengir. Aku hanya sanggup mengangguk dan tersenyum dengan getir.
Jangan anggap sepele kesehatan mental anak
Masalah kesehatan mental belakangan ini semakin terasa urgen di tengah-tengah arus kehidupan masyarakat modern. Media sosial atau internet bahkan membuat isu ini semakin sulit dihindari. Kesehatan mental sangat penting untuk dimiliki oleh semua orang, termasuk anak-anak. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kesehatan mental adalah keadaan sejahtera di mana setiap individu bisa mewujudkan potensi mereka sendiri. Mereka dapat mengatasi tekanan kehidupan normal, dapat berfungsi secara produktif, dan bermanfaat serta mampu memberikan kontribusi kepada komunitas mereka.
Adapun kesehatan mental anak adalah bagaimana anak berpikir dan merasa mengenai dirinya sendiri dan dunia di sekelilingnya. Kesehatan mental ini berhubungan dengan bagaimana anak menghadapi tantangan dalam hidup. Anak-anak yang memiliki kesehatan mental baik akan mampu memahami dan menghadapi tantangan dari sekitarnya.
Sejujurnya, perundungan kali ini tetap membuatku khawatir akan memberi jejak trauma atau dampak pada dirinya. Aku selalu berdoa dan berharap ia #BisaJadiJADIBISA mengatasinya dengan baik serta mampu berdamai dan mencintai dirinya. Alhamdulillah, ia bahkan masih mampu dan berhasil memperoleh hasil nilai ujian tertinggi serta pencapaian tahfidz terbaik di antara teman-temannya. Setidaknya hal tersebut membuktikan bahwa Xi sulung mampu bertahan dan berdasarkan hasil pantauan, sejauh ini kami juga berhasil menjaga kesehatan mentalnya.
Merawat kesehatan mental anak demi tumbuh kembangnya
Berbeda dengan Xi sulung yang introver koleris, karakter Xi bungsu yang ekstrover plegmatis relatif lebih mudah menghadapi bullying karena mungkin ada pengaruh dari sikapnya yang lebih santai dan terbuka. Akan tetapi, upaya untuk mengatasi permasalahan demi kesehatan mental mereka tetap sama besar. Kami berusaha cepat tanggap ketika duo Xi memberikan sinyal-sinyal apabila terjadi sesuatu yang mengganggu dalam keseharian mereka, sekecil apa pun.
Menurut American Federation of Teacher, ciri-ciri anak korban bullying di antaranya sering menyendiri, kurang keterampilan sosial, terlihat lemah secara fisik, sering menangis atau mudah menyerah, mengalami trauma, dan mengalami kesulitan belajar. Beberapa anak bahkan mengalami anxiety atau kecemasan setelah mendapatkan perlakuan bullying. Ciri-ciri anxiety antara lain merasa sulit berkonsentrasi, tidak makan dengan benar, cepat marah atau mudah tersinggung dan lepas kendali saat marah, terus-menerus khawatir atau memiliki perubahan pola pikir menjadi negatif, merasa tegang dan gelisah, sulit tidur, atau sering menggunakan toilet.
Ketika kami membahas hal ini bersama-sama, kami semua pada akhirnya memang harus menyadari bahwa kita tidak pernah tahu perilaku perundungan itu datang dari mana atau siapa. Oleh karena itu, kita harus terus menolak bullying di mana pun dan oleh siapa pun. Kita pun harus terus belajar dan siap menghadapinya serta selalu berusaha mengedukasi lingkungan kita agar perilaku perundungan (bullying) itu bisa dihilangkan.
Awalnya, Xi sulung jujur mengakui bahwa ia memang merasa marah dan sedih, tetapi kini ia melihat teman-temannya dari sudut pandang yang lain. Bagi Xi sulung, pelaku perundungan (bullying) itu yang justru harus dikasihani. Mereka adalah anak-anak yang bermasalah. Rumi menceritakan bahwa sebagian besar teman sekolah yang suka mem-bully dirinya memang berasal dari keluarga yang kurang memberi perhatian dan kasih sayang, atau minimal ada pola asuh (parenting) yang kurang bagus.
Mereka suka pamer barang-barang yang dimiliki, banyak bicara atau membual, tidak suka belajar, tidak suka berbagi atau membantu, bicara kasar atau mengejek, mudah marah atau tersinggung, sering kali mengganggu dan melakukan kekerasan serta sering berbicara tentang hal-hal yang tidak penting.
Perilaku semacam itu merupakan beberapa manifestasi kurangnya kasih sayang dan perhatian akibat dari orangtuanya yang sibuk. Bentuk kepedulian orangtuanya hanya diwujudkan dengan memberi barang-barang mahal, seperti membelikan motor, smartphone, atau peralatan sekolah mewah tanpa ada interaksi yang intens di antara anak dan orangtua untuk memenuhi dahaga akan kasih sayang dan perhatian.
Fakta yang banyak kami temukan ini membuat kami semakin yakin untuk menjadikan keluarga sebagai rumah yang nyaman bagi duo Xi, anak-anak kami. Keluarga adalah unsur yang utama karena dari sinilah semuanya berawal. Betapa terharu ketika duo Xi mengungkapkan rasa syukur karena memiliki kami sebagai orangtua mereka.
Memasuki Tahun Ajaran Baru Dengan Gembira
Anak-anak usia sekolah yang sebagian waktunya akan mereka habiskan di sekolah juga tak lepas dari kaitan dengan hak asasi anak untuk mendapatkan pendidikan dan pemeliharaan kesehatan mental. Tentu saja berbagai kondisi di sekolah akan menjadi tantangan tersendiri bagi anak, termasuk krucil kami. Terlebih ketika menghadapi situasi dan adaptasi di lingkungan sekolah (kelas) yang baru di mana bagi beberapa anak–bahkan bagi sebagian orangtua–suasana semacam ini mereka hadapi dengan tidak mudah.
Ada beberapa tips yang sejauh ini berhasil diterapkan pada duo Xi dan bisa dilakukan kapan saja, termasuk pada saat menghadapi tahun ajaran baru. Kami meyakini bahwa tips ini memberikan pengaruh yang positif terhadap perkembangan dan kesehatan mental mereka, bahkan di saat-saat yang berat menghadapi perundungan (bullying).
1. Menjadi pendengar yang baik
Apa pun kondisinya, mudah atau susah, sedih atau gembira, kami sebagai orangtua harus menjaga anak-anak agar senantiasa merasa aman, nyaman, dicintai, disayangi, dan dihargai. Keluarga adalah rumah di mana seluruh anggota keluarga akan menjadikannya tempat untuk kembali.
Rasa aman dapat diperoleh dengan menghindarkan anak dari situasi, baik secara fisik maupun emosi yang membahayakan. Hal ini bukan berarti anak selalu dalam kondisi steril dari tantangan di luar dirinya. Akan tetapi, pastikan orangtua menjadi orang pertama yang akan selalu siap sedia mendampinginya ketika terjadi sesuatu pada diri mereka.
Oleh karena itu, ketika memasuki tahun ajaran baru, kami berusaha menjadi pendengar yang baik mengenai segala hal yang mereka butuhkan atau sampaikan tanpa ragu atau sungkan. Rasa takut, rasa deg-degan, unek-unek, celoteh tentang pengalaman yang kira-kira akan mereka dapatkan, rencana yang mereka buat, dan lain sebagainya kami serap dan kami bicarakan dengan sangat terbuka.
Memberikan afirmasi pada perasaan (emosi) mereka akan membuat mereka merasa bahwa ayah dan bundanya akan siap sedia mendampinginya sehingga mereka lebih aman, nyaman, dan berharga serta berani dan percaya diri.
2. Menjadi sahabat terdekat
Kami selalu berusaha untuk mendeteksi segala macam bentuk perubahan, baik fisik maupun emosi yang terjadi pada diri kedua krucil kami. Kami juga mengajarkan kepada mereka untuk mengelola dan tidak ragu mengekspresikan emosinya. Ketika mereka sedih, kecewa, marah, takut, gembira, antusias, dan lain sebagainya, mereka belajar mengungkapkannya dengan cara yang benar. Memang tidak mudah. Apalagi kami tinggal di daerah di mana ekspresi keakraban antara orangtua dan anak tidak bebas ditampakkan, seperti saling memeluk atau mengeluarkan pendapat.
Pada beberapa kasus, ada anak yang mengalami masalah justru tidak dapat mengungkapkan masalahnya karena keluarga tidak (siap) menjadi garda terdepan untuk membela atau mendukungnya. Hal semacam ini akan semakin memperburuk kondisi kesehatan mental anak. Kami menempatkan diri sebagai sahabat terdekat anak-anak kami. Dengan demikian, ketika memasuki tahun ajaran baru dan bahkan sepanjang perjalanan mereka bersekolah, anak-anak kami tidak ragu untuk berbagi rencana dan pengalamannya dengan kami, sahabat terdekat mereka.
3. Menjadi teman bermain yang asik
Kami percaya bahwa anak-anak sering kali belajar dengan cara bermain. Bahkan Xi sulung yang sudah beranjak remaja masih sering kami ajak belajar melalui permainan. Sebagaimana diungkapkan oleh dr. Aisah Dahlan dalam bukunya Maukah Jadi Orang Tua Bahagia?, berbeda dengan anak perempuan, anak laki-laki masih lebih dominan otak kanannya sehingga cara belajar yang cocok bagi mereka adalah yang sesuai dengan otak kanan tersebut.
Kami memegang prinsip bahwa semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru, dan setiap kejadian yang dialami adalah pelajaran. Belajar dalam perspektif duo Xi bisa dilakukan di pasar, di masjid, di museum, di perpustakaan, di sawah, di stasiun, di dojang, di bank, di kafe dll, bahkan di ruang acara gelar wicara (talkshow) atau galeri.
Mereka menunjukkan excitement dan antusiasme atas pengalaman tersebut. Dari mana kami bisa mengetahuinya? Tulisan pada diari yang sering mereka tunjukkan pada kami mengungkapkan segalanya.
4. Menjadi mentor yang tepercaya
Kami cenderung membatasi penggunaan gadget dengan membuat kesepakatan bersama secara tertulis mengenai penggunaannya dan memantau interaksi mereka di dunia maya. Waktu liburan mereka tidak terus-menerus terpaku pada gadget karena kami rutin berolah raga atau sekadar jalan-jalan di alun-alun pada pagi hari. Hal ini kami lakukan agar fisik mereka lebih sering bergerak dan bersentuhan dengan alam sehingga ketika masuk sekolah kembali, fisik dan mental mereka sudah siap dan senantiasa sehat.
Jika memasuki sekolah baru (seperti ketika duo Xi masuk sekolah dasar atau Xi sulung pindah sekolah), kami ajak mereka berkunjung ke sekolah baru tersebut agar mereka dapat beradaptasi dengan suasananya. Mereka juga kami ajarkan cara berinteraksi dan beradaptasi dengan teman baru dan membuat kegiatan untuk mempersiapkan mental mereka dengan rutinitas jadwal sekolah. Beberapa hal yang tak kalah seru untuk dilakukan menjelang tahun ajaran baru adalah menggambar di karton jadwal pelajaran, membuat kata-kata motivasi, dan mencicil rutinitas yang dijalani seperti ketika kembali ke sekolah. Peran kami sebagai mentor ini masih terus kami lakukan dan menjadikan kami terus belajar agar menjadi lebih baik.
5. Menjadi ATM (Anjungan Tempat Memberi/Meminta)
Saya sependapat dengan KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), salah satu ulama muslim terkemuka yang menyatakan bahwa orangtua hendaknya bisa mengawal anak-anak mereka sehingga #KarenamuJADIBISA menjadi tempat pertama dan utama di mana anak mengenal hal-hal yang baik (menyenangkan). Akan menjadi hal yang membahayakan apabila mereka menemukan atau mendapatkan hal-hal yang menyenangkan justru dari orang-orang di luar orangtuanya yang tidak mengampu nilai positif keluarga karena dari sanalah mereka menemukan figur yang akan menjadi panutannya.
Setiap orangtua, termasuk juga saya pasti ingin memenuhi keinginan anak seperti saat memasuki tahun ajaran baru sepanjang mungkin bisa diusahakan, sesederhana meminta dibelikan kotak bekal makanan bergambar Spiderman atau membeli alat melukis berupa tablet/drawing pad untuk mereka membuat buku komik, misalnya. Konteksnya bukan berarti memanjakan tanpa batas. Akan tetapi, hal ini juga terkait dengan peran kami sebagai pendengar yang baik dan sahabat terdekat bagi anak-anak kami.
Mereka secara terbuka dan tidak sungkan atau ragu menjadikan kami sebagai ATM (Anjungan Tempat Memberi/Meminta) apabila mereka memiliki keinginan. Tentu saja kemampuan dalam memenuhi keinginan tersebut juga kerap kami diskusikan karena hal ini menjadi bagian dari mereka belajar mengelola keuangan (manajemen finansial).
Merayakan Back to School with Home Credit Indonesia
Apakah hanya anak-anak yang merasakan bahwa tahun ajaran baru adalah sesuatu yang memiliki daya tarik sekaligus menjadi tantangan bagi kesehatan mental mereka? hehehe. Tentu saja tidak. Orangtua pun bisa menjadi bagian dari perayaan datangnya tahun ajaran baru atau back to school setelah liburan panjang usai.
Biaya pendidikan dan barang-barang kebutuhan yang harus dipersiapkan setiap tahun ajaran baru tentu membuat adrenalin para orangtua meningkat. Buku pelajaran, alat tulis sekolah, tas, sepatu, seragam, gadget, komputer/laptop, meja belajar, peralatan bekal/makan-minum, sepeda (kendaraan antar jemput), bahkan hingga alat elektronik dan alat memasak untuk membuat sarapan dan bekal agar memenuhi nutrisi yang baik rasanya menjadi benda-benda yang diperlukan menjelang para krucil kembali ke sekolah.
Keriuhan dan kemeriahan back to school ini terasa semakin meriah dan semarak dengan hadirnya Home Credit Indonesia dalam perayaan JFK (Jakarta Fair Kemayoran). Acara ini cocok banget bagi para ibu dan keluarganya yang mengincar beragam program dan promo menarik, khususnya yang berkaitan dengan momentum back to school. Banyak barang yang bisa kita dapatkan dengan harga relatif hemat, bahkan mendapat hadiah jika beruntung ketika datang ke event ini.
Saya sangat tertarik dengan event ini karena para pengunjung bisa mendapat pengalaman unik dan ada berbagai kegiatan menarik di booth Home Credit Indonesia selama JFK berlangsung. Mereka membagikan testimonial mengenai pengalaman mereka yang bikin mupeng pada berbagai akun media sosial Home Credit Indonesia atau di website www.homecreditindonnesia.co.id.
Para pengunjung yang datang ke booth Home Credit Indonesia dapat memperoleh reward dengan mengisi form di https://bit.ly/42YPTyT. Mereka juga bisa mendapatkan merchandise eksklusif Home Credit dengan cara mengunduh my home credit di appstore/playstore. Booth Pesta Juara Home Credit di Hall A3, Jakarta Fair Kemayoran terlihat banjir hadiah. Ibu-ibu mana yang tidak tergiur kaaan?
Pengunjung di booth bisa mendapat free snack dengan bermain games interaktif, hadiah langsung voucher MAP, dan merchandise eksklusif Home Credit untuk tiap transaksi minimal Rp3.000.000, dan masih banyak lagi hadiah lainnya, seperti smartphone OPPO A16 yang diundi setiap minggunya. Waaah, benar-benar bikin pengunjung tersuntik semangatnya untuk menyambut back to school. Selain itu ada hadiah spesial berupa logam mulia total 8,5 gram dan Samsung A13.
Dulu, ketika kami masih tinggal di sekitar Depok dan Bogor, duo Xi juga suka berkunjung ke pameran atau festival untuk mengisi liburan. Namun bagi saya yang kini tinggal nun jauh di bagian timur Pulau Jawa tentu agak riweuh alias repot jika harus datang ke JFK. Tetapi sekarang kendala itu bisa diatasi karena meski kami tidak dapat hadir di booth Home Credit Indonesia, layanan cicilan Home Credit Indonesia juga bisa ditemukan di lebih dari 22 ribu toko di Indonesia sehingga Semua Kebutuhan Jadi Bisa Terpenuhi.
Nah, bagi para orangtua yang mempersiapkan momen back to school pada tahun ajaran baru ini bisa mengunduh aplikasi Home Credit Indonesia untuk mendapatkan update promo terbaru dan penawaran yang sangat menarik. Jika kesehatan mental para krucil sangat penting dijaga untuk menghadapi kembali kegiatan belajar di sekolah dan menjalani tahun ajaran yang baru dengan gembira, maka Home Credit Indonesia juga bisa menjadi salah satu solusi bagi keluarga untuk menjaga kesehatan mental serta memenuhi kebutuhan demi memperlancar proses belajar putra putri mereka.
Keluarga yang memiliki kesehatan mental terjaga tentu memberikan sumbangsih dalam lingkungan belajar yang sehat dan nyaman bagi buah hati mereka, di rumah maupun di sekolah. Sepakat?
Kesehatan mental anak ga kalah penting dengan prestasi akademik, bisa tambah semangat back to school dengan Home Credit Indonesia, horee!
BalasHapusTahun ajaran baru identik dengan tas dan alat tulis baru, tapi penting juga memperhatikan emosi anak ttg memasuki jenjang baru yg mungkin lebih menantang dan bisa produktif. Salut!
BalasHapusTahun ajaran baru, perlengkapan sekolah baru. Untung ada Home Credit yang ngertiin kita ya bun.
BalasHapusOrangtua semangat, anak ikut semangat. Kesehatan mental emang ga kaleng2, kudu dijaga terutama anak dan orangtua. Tetap optimistis!
BalasHapusYa Allah, sedih baca cerita Xi sulung. Moga dia jadi anak hebat kelak ya Bun, meski masa kecilnya kemarin sempat mengalami hal tak mengenakkan dalam lingkungan pertemanannya.
BalasHapus