Bagi sebagian orang, angka 9 mungkin tak berarti apa-apa atau
bahkan sebaliknya, menjadi angka istimewa. Tapi angka 9 tidak sesederhana itu bagiku. Angka
ini mengajarkanku tentang cinta, kekuatan, dan kesetiaan. Meski tak bisa kupahami
cara takdir melakukannya.
***
Senin, 17 Mei 2004 pukul 07.58 WIB
Gubrakkkk …. Kaca bening itu pun tersaput jejak hidung dan
meninggalkan bekas. “Duh, memar deh tulang hidungku,” gumamku sambil mencoba
berdiri tegak meski ada sedikit rasa senut-senut di sebagian hidungku. Menabrak
jendela bening di pagi hari mungkin bukan hal yang indah untuk memulai hariku. Gulungan
kabel yang terbungkus plastik bening rupanya juga ingin menambah sempurna “kemalanganku”.
Lompatan anggun ke arah depan untuk menghindar berhasil kulakukan, tapi tak
urung membuat kakiku goyah dan jatuh terduduk. Sempurna!
Namun tak selamanya awal yang buruk harus membuat kita menyerah,
bukan? Siapa tahu di penghujung hari bakal ada kejutan indah sebagai penutup
hari ini.
“Orangnya ada di sini, tapi pikirannya pasti ada di tempat
lain. Lihat, jendelanya retak kan?” Samar suara bariton terdengar di belakangku.
Aku sempat melirik sekejap. Wow, ternyata ada juga yang memperhatikan
kejadian barusan. Sakitnya tak seberapa, tapi malunya ….
“Duh, pecah berkeping-keping deh. Sepertinya aku harus segera
mengganti dengan kaca yang lebih empuk,” jawabku sekenanya sambil mencoba
menghilangkan semburat merah jambu yang terlanjur hadir di seluruh mukaku.
“Bagaimana jika kamu berobat dengan secangkir ulee kareng dan
pulut (ketan) bakar? Jika tak keberatan, mari kuantar kamu ke kedai depan sana.”
Entah mengapa aku tak menolak ajakan itu dan mengikutinya. Aku
memang perlu sarapan dan mengobati suasana hati yang terlanjur berwarna-warni
sepagi ini. Aku terus berjalan sambil mengusap-usap ujung hidungku yang agak
sedikit memerah.
Itulah awal pertemuanku dengannya. Ternyata kami tak sulit
untuk akrab dan berbicara banyak di sela-sela menyeruput ulee kareng, kopi Arabica
pekat khas Lamno, Aceh Jaya itu. Sesapan demi sesapan rasa kopi istimewa itu
meninggalkan jejak kenangan yang tertinggal demikian manis. Hari pun belum
genap separuh. Hanya ada satu yang tertinggal seharian itu, aku dan dia belum
tahu nama masing-masing, juga nama seorang teman yang mengiringinya.
***
Berita tentang gempa yang terjadi selama 8-10 menit dengan
kekuatan 9,2 skala Richter pada 26 Desember 2004 pukul 07.58 WIB mengguncang
pagiku yang indah dan pagi seluruh masyarakat di negeriku. Tsunami yang
dihasilkan oleh gempa berkekuatan setara dengan 5 megatin dinamit itu tak beda
dengan tsunami yang aku rasakan di relung-relung hatiku meski aku tengah berada
ratusan kilometer dari Nangroe Aceh Darussalam. Pagiku di Yogyakarta tak sama lagi
seperti pagi-pagi sebelumnya.
Mataku pagi itu tak lepas dari layar televisi di atas rak berukir
dari kayu jati. Sedikit berdebu. Kaca selebar 42 inci itu menayangkan berita
gempa dan tsunami di kota berjuluk Serambi Mekah. Momen yang mengiris-iris hatiku,
langsung tanpa basa-basi. Aku memang bangun kesiangan karena semalam acara peluncuran
novelku baru selesai tepat jam 12. Sungguh larut untuk acara semacam itu. Pagi
ini aku terbangun dan langsung masuk ke kamar mandi. Tak kuketahui adanya
kejadian luar biasa itu dengan segera. Aku baru menyadarinya ketika menghidupkan
ponsel yang baterainya sudah terisi penuh. Ia segera disesaki oleh berondongan
pesan dan miscall. Salah satunya dari Mama. “Rania, bagaimana kabar
Raihan? Cepat balas ya, Sayang.”
Pagi itu juga, tiket penerbangan paling cepat dan hotel
terdekat yang bisa menyentuh tanah terdekat dengan Tanah Rencong segera
kupesan. Entah mengapa beberapa celana jins Giordano milik Raihan juga turut kumasukkan
beserta isi koperku yang lain. Di sela-sela mengemas bawaan itulah, air mataku
terus merembes tanpa mampu mengeluarkan suara tangisan sedikit pun. Rasa gundah,
sesak, dan pilu sudah lengkap menghuni diriku. Hanya geliat di dalam rahimku
yang mengajakku bertahan dan kuat untuk mengadakan perjalanan ini. “Mama, aku
sedang limbung sekarang …,” desis batinku mengiba.
Hanya ada satu orang yang aku tuju ketika tiket pesawat dan
tempat menginap di Aceh kupesan, Ramdhan. Ia adalah rekan satu kampus dan satu
kantor Raihan ketika kuliah di UGM. Ramdhan merupakan orang asli Medan. Ia
tinggal bersama ibu dan seorang adik
perempuannya. Dari dialah aku mendapat kabar bahwa Raihan termasuk orang-orang
yang masih dinyatakan hilang. Ramdhan tanpa henti mencoba membantuku untuk
mencari keberadaan Raihan meski berbagai halangan dan rintangan membentang. Ia
sedikit pun tak terlihat lelah mencari informasi, bahkan hingga larut malam.
Tampaknya ia juga sangat terpukul dengan hilangnya sahabat sekaligus atasannya
itu.
Sebuah buku harian Raihan akhirnya menandai tamatnya upaya
pencarian. Dengan sebuah pandangan yang tak kuketahui maknanya, Ramdhan mencoba
menyampaikan berita tersebut sehalus mungkin. Ia mengatakan bahwa Raihan telah
wafat bersama korban tsunami lainnya. Ia baru tiba di Aceh setelah diutus
perusahaan untuk melakukan penelitian di Borneo selama sebulan. Buku hariannya
ditemukan di tas ransel beserta laptop yang selalu dibawanya ke mana pun. Buku
harian itulah yang membuatku bertahan hingga hari ini, bersama Raihan kecilku.
***
Rabu, 17 Mei 2004 pukul 07.48 WIB
Pagi itu, aku bisa melihatnya sejak terbukanya pintu lift yang
membawaku turun dari lantai 21. Ia begitu anggun meski hanya dengan busana
kasual dan lilitan syal di lehernya. Ia melangkah menuju ruangan bersekat kaca
bening yang memisahkan lobi dengan ruangan di seberangnya.
Aku sudah 9 kali bertemu dengannya. Entahlah, bagaimana aku
bisa mengingat jumlah pertemuan itu. Bertemu 2 kali di lift, 4 kali di lobi, 1
kali di musala lantai 3, dan 2 kali di kantin gedung ini. Ada sesuatu yang
begitu kuat menarikku untuk mendekatinya. Bukan sekadar fisik. Ya, kuakui dia
memang cantik, tetapi ada yang lebih dari itu. Sorot mata yang tak bisa dengan
mudah untuk dilupakan, damai dan penuh ketenangan.
Gubrakkkk …. Kaca bening itu pun tersaput jejak hidung dan
meninggalkan bekas. Oowwhh, wajah cantik itu terlihat memelas setelah
menghantam kaca bening itu. Ia mengusap-usap hidungnya yang bangir. Tak henti
sampai di situ, ia lalu tampak tersandung oleh gulungan kabel yang samar menumpuk
di dekat kakinya sesaat ia mulai berjalan kembali. Dan, ia pun terjatuh setelah
berusaha lebih dulu melompat. Oh, gadis yang malang.
Aku ragu untuk mendekat karena takut akan membuatnya malu.
Aku memang peragu. Aku pun ragu bahkan untuk sekadar mengucapkan kalimat,
“Awas, ada kabel di depanmu!” Padahal sungguh aku bisa menolongnya menghindar
dari kesialan itu. Pesonanya telah membuatku membeku dan hanya sanggup
menatapnya.
Tak selang berapa detik, pintu lift terbuka. Raihan, kepala
bagian riset yang juga teman kuliahku keluar dan menyadari kejadian itu. Kami
bekerja di perusahaan yang sama dan sembilan meter juga menjadi jarak yang sama-sama
kami tempuh menuju gadis itu.
“Orangnya ada di sini, tapi pikirannya pasti ada di tempat
lain. Lihat, jendelanya retak kan?” Raihan langsung meledek sambil menjulurkan
tangannya untuk membantu gadis itu berdiri.
Dan … kesempatan kesepuluh yang terhidang di hadapanku untuk
mendekatinya musnah sudah.
***
Tanggal 26 Mei 2004, tepat 9 hari setelah peristiwa menabrak
kaca itu, komisaris perusahaan tempat kami bekerja berulang tahun. Ia akan
mengadakan perayaan di rumahnya. Saat itulah aku mengetahui nama gadis itu. Aku
kebagian tugas menyebarkan undangan kepada seluruh karyawan perusahaan. Namun
justru bukan karena nama yang tertera pada undangan itu aku jadi tahu namanya.
Raihanlah yang memberitahuku hal itu karena saat itu pula ia mengatakan akan
melamar Rania, nama gadis itu, sesegera mungkin sebelum ia berangkat ke Jerman tahun
depan. Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh menjadi tempat yang dicita-citakan
Raihan menjadi saksi akad nikahnya. Sungguh, tak pernah kulihat sahabatku
demikian berharap selain ketika menyatakan hal itu padaku.
***
Jika planet di tata surya ini berjalan pada orbitnya
masing-masing, maka takdirku juga memiliki orbitnya sendiri. Hanya saja orbitku
sering kali bersisian dengan orbit yang menjadi lintasan Raihan. Sesering ia
bertemu Rania, sesering itu pula rasa tersayat hadir di hatiku. Dekat di
hadapan, namun tak mungkin lagi aku harapkan. Bayangkan, aku terobsesi pada
seseorang yang telah menjadi milik sahabatku. Tiap kali bertemu, tiap saat itu
pula kepedihan menggores-gores kalbu.
Rania diminta berhenti bekerja oleh Raihan setelah ia
diketahui berbadan dua. Kondisi ini sedikit membuatku menghela napas. Dengan
begitu aku tak mesti bertemu dengannya setiap hari. Hari-hariku sedikit ringan
dan kecanggungan setiap berjumpa tak perlu aku khawatirkan. Aku tak ingin
Raihan mengetahui isi hati yang kumiliki terhadap Rania. Namun peristiwa
tsunami itu membuatku tak bisa berkutik melawan takdir yang disematkan
kepadaku.
Aku tak sanggup membayangkan betapa Rania begitu terpukul
dengan kematian suaminya. Ia begitu lemah dengan kondisi kehamilan dan
menghadapi kenyataan hilangnya Raihan. Di saat ia mencariku untuk menjadi
pegangan dalam mencari suaminya, ada kekuatan yang ikut membuatku terseret
dalam upaya mencari informasi terkait keberadaan Raihan. Ia tampak limbung.
Wajahnya sedikit pucat akibat malam-malam yang membuatnya selalu terbangun
memanggil nama Raihan. Tak terhitung air mata yang mengalir setiap kali ia
melihat foto sembari mengusap perutnya, berusaha menabahkan diri dan calon
jabang bayi di dalam kandungannya.
“Kau harus kuat, Rania. Kita akan cari Raihan bersama-sama.
Ada sebagian dari diri Raihan kini tengah bersemayam di dalam dirimu. Semoga
ketegaranmu akan membuatnya menjadi anak yang tegar pula,” perih hatiku ketika
mengatakan itu pada Rania. Aku tak terlalu berpikir lebih jauh apakah kepedihan
itu lahir dari rasa kehilangan sahabatku atau melihat kekalutan di wajah Rania.
Rania melewati masa-masa sulit itu dengan sangat berat.
Bahkan ia mengalami sedikit gangguan pada kehamilannya akibat tekanan batin
kehilangan Raihan. Aku mencoba menawarkan untuk mengantarnya pulang ke
Yogyakarta agar ia tidak merasa sedih berkepanjangan. Mama dan papa Rania juga
datang dari Yogyakarta untuk membujuknya pulang. Namun semua itu sia-sia. Ia
ingin tetap bertahan sedekat mungkin demi mencari sisa-sisa kenangan yang bisa
ia temukan dari diri Raihan. Aku pun menyerah. Aku tak punya pilihan selain
menemani ia menjalani hari-harinya yang panjang sebelum waktunya melahirkan.
***
Sabtu, 26 Desember 2022 pukul 07.58 WIB
“Papa, aku mau coba kopinya dong. Para foodblogger
bilang rasa ulee kareng agak asam dan “keras”. Betul gak sih? Oh ya, mama suka
minum kopi juga kan? Apa yang paling mama suka ketika menikmati kopi ini, Pa?” Tegar
langsung menggeser gelas mini berisi kopi ulee kareng begitu gelas terhidang di
hadapanku. Matanya yang sendu mengingatkanku akan sorot mata ibunya. Sedikit
tumpahan kopi mengenai jins Giordano yang dikenakan Tegar. Entah mengapa jins
favorit ayahnya itu juga menjadi kesayangannya.
“Tegar, papa selalu membayangkan mamamu ikut menikmati kopi
ini tiap kali kita kembali ke sini.” Mataku terasa sedikit membasah ketika aku
mengingat pertama kali aku duduk begitu dekat dengannya. Kami duduk berhadapan menikmati
ulee kareng. Dulu, Rania dan Raihan memilih ditemani pulut bakar yang gurih, sedangkan
aku justru mengambil timpa (lepat) sebagai camilannya. Satu hal yang membuatku
selalu perih. Ketika itu aku merasa Raihan selalu beruntung dan aku hanya
menjadi bayang-bayangnya. Sebuah perasaan yang pernah hinggap itu kini telah
aku sesali. Benar-benar aku sesali.
Delapan belas tahun (cobalah dibagi dua) telah berlalu dari
peristiwa tsunami Aceh. Aku merasa menjadi lelaki yang penuh dengan rasa
syukur. Bukan hanya karena bencana itu membuatku sadar. Cinta Rania pada Raihan
tak pernah pudar. Aku sungguh tahu itu. Kekuatan cintanya membuat ia bertahan
untuk terus menunggu keberadaan suaminya. Kekuatan itu pula yang membuatnya
tegar menghadapi kenyataan suaminya tak pernah kembali ke pelukannya.
Selamanya. Kesetiaannya membuatku hanya bisa mendapatkan status sebagai
suaminya tanpa mendapatkan raganya.
Tetapi itu sudah cukup buatku. Sungguh. Aku pun sepenuhnya
mencintai Rania yang bersedia kunikahi setelah Tegar lahir. Demi Tegar. Selama
sembilan bulan setelah melahirkan, ia menghuni rumah sakit jiwa akibat depresi berkepanjangan.
Cinta pada Raihan membuat Rania akhirnya menyerah pada suratan takdirnya. Ia
terlalu mencintai Raihan ….
***
Sembilan jam sebelum tsunami Aceh ….
Aku mencintaimu dengan cinta yang syahdu. Rinduku selalu. Di
mana pun. Hingga kapan pun. (Raihanmu)
25 Desember 2004 (22.58 WIB)
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com
0 comments:
Posting Komentar