Kado dari Surga

Biiip … biiip … biiip. Telepon selular jadul berwarna metalik itu membangunkan Raisa dari mimpi indahnya di subuh yang masih temaram. “Hanya ingin berbagi kabar bahagia. Istriku sudah hamil dan sekarang memasuki masa tiga bulan. Mohon selalu didoakan yang terbaik ya.” Hanya itu yang tertera di layar telepon. Tapi … sontak berita sepagi itu mampu membuat Raisa melompat bahagia dan membuat rusuh seisi rumah.
“Mas, bangun! Ini lihat deh, Bimo dan Mona akhirnya ….,” teriak Raisa di telinga Rio, sang suami yang masih lerlihat berada dalam gulungan selimutnya. Raisa mengguncang-guncang badan suaminya dengan sangat bersemangat dan tak urung membuat suaminya ikutan terlonjak kaget dan terjerembab ke lantai.
Hadeeuuh, ada apa sih pagi-pagi bikin heboh begini?” gerutu Rio sambil duduk kembali di pinggir tempat tidur.
“Ini lho, Bimo dan Mona akhirnya …,” ujar Raisa sambil matanya yang berkaca-kaca tidak terlepas dari layar teleponnya. “Mereka akan punya anak!”
***




Tiga bulan sebelumnya.
Raisa tertegun memandang rincian biaya yang tertulis pada kuitansi pembayaran. Belum pernah seumur hidupnya ia berada pada titik di mana ia merasa tak mampu berbuat apa-apa. Meminta bantuan pada orang tua? Rasanya sangat tak bijak karena ia hanya tinggal memiliki seorang ibu yang kondisinya kini mulai sakit-sakitan. Meskipun ada peninggalan ayah, tapi itu semua harus melalui proses yang panjang untuk mendapatkannya. Meminjam pada sanak saudara? Ah, mereka pun sudah sangat kerepotan dengan urusan masing-masing. Maklum, kenaikan harga bahan bakar cukup membuat banyak orang berpikir seribu kali untuk membantu orang lain. Keluarga mereka pun harus bertahan hidup di tengah sesaknya himpitan ekonomi saat ini. Sungguh luar biasa pengaruh kenaikan-kenaikan itu pada kehidupan sebagian besar orang.
“Cincin ini tampaknya sudah enggak muat di jariku, Mas. Lepas aja deh. Lumayan buat tambahan,” gumam Raisa sambil duduk bersandar di dinding yang berada di ujung ranjang rumah sakit. Bekas operasi caesar masih terasa cenat-cenut di perutnya yang masih dililit perban.
Rio memandang Raisa dengan sangat lekat dan sedikit mengernyitkan wajahnya. “Sayang, itu kan cincin milikmu. Apa kamu nanti enggak merasa kehilangan?”
“Enggak apa-apa, Mas. Toh, aku sudah mendapat ganti yang lebih indah. Anak kita yang tampan ini lho …,” sergah Raisa sambil menunjuk Rafi, anak mereka yang baru berusia tiga hari.
Percakapan terhenti ketika seorang perawat datang dan membawa sarapan pagi buat Raisa. “Silakan sarapan dulu ya Bu. Setelah sarapan, jangan lupa obat ini diminum juga.” Sang perawat meletakkan nampan berisi sarapan di atas rak yang juga berfungsi sebagai meja. “Oh ya, nanti siang Pak Rio kami tunggu di bagian administrasi ya Pak,” ujar perawat cantik yang selalu menebar senyum manis itu.
“Oke, Suster. Nanti saya siang ke sana ya,” balas Rio sambil melirik istrinya sekilas. Setelah suster cantik itu berlalu, Rio menggumam lirih, “Hhhhhhh, senyummu membawa luka. Kok enggak enak ujungnya sih.” Raisa hanya bisa memandang Rio dan tersenyum pahit. Percakapan mereka kembali terhenti ketika anak pertama mereka, Ferdi berteriak, “Ayah, Ferdi mau ikut makan sama Bunda. Laper niiihhh.” Waduh, bukan main bocah ini. Enggak boleh lihat ada makanan menganggur sedikit saja ….
***
Bruk …. Tak sengaja Raisa menjatuhkan buku yang tertata rapi di meja kerja Rio. Mereka berjatuhan laksana gugurnya batu-batu di perbukitan yang rasanya turut menghimpit Raisa. Sesak dadanya menyaksikan catatan demi catatan yang tertera di dalamnya. Semua mengartikan satu hal, pembatalan berbagai proyek akibat kenaikan harga BBM dan kertas. Duh Gusti, kok bisa sih beruntun kayak begini?
Rio memang telah lama memutuskan untuk berhenti bekerja dari perusahaan yang terbilang cukup bonafide. Banyak yang mempertanyakan alasan ia keluar dari tempat tersebut. Rio hanya mengungkapkan satu hal, ia ingin memberdayakan kemampuannya dan membuka peluang kerja bagi rekan-rekannya yang lain melalui usaha yang kini digelutinya. Berbekal pengalaman kerjanya, ia memberanikan diri membuka usaha yang tak jauh berbeda dengan bidang yang digelutinya, dunia perbukuan.
Raisa, sang istri juga melakukan hal yang sama. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya sesaat setelah anak pertamanya lahir. Sekarang ia membantu usaha suaminya sambil mengasuh kedua anak mereka di rumah. Tentu saja, pilihan ini memiliki berbagai konsekuensi, termasuk dalam hal finansial bagi rumah tangga mereka.
“Kamu kenapa, Sayang?” Rio tiba-tiba datang menghampiri Raisa yang duduk di lantai sambil terisak-isak.
“Mas, aku bingung karena enggak bisa membantu apa-apa sejak melahirkan Rafi. Kamu pontang-panting kayak begini, sementara aku malah cuma bisa diam dan menyusahkan,” jawab Raisa sambil terus tergugu dan berlinang air mata.
“Wah, ini pasti baby blues deh. Sudah ah, aku hepi aja tuh. Siapa yang bilang kamu menyusahkan? Aku malah minta maaf, sudah teledor. Aku enggak terbiasa pegang Ferdi sendirian. Jadi enggak fokus, terus … tuiiinggg … hilang deh mobil kita,” kelakar Rio sambil mengusap-usap rambut Raisa.
Yup, mobil yang dijadikan andalan Rio dan Raisa turut raib beberapa hari setelah Raisa pulang dari rumah sakit. Sesak dada Raisa mendapati kenyataan bahwa kendaraan itu hilang hanya karena Rio lengah dan lupa mencabut kunci mobil ketika pergi berbelanja. Ferdi yang agak rewel dan berbagai urusan pekerjaan membuat Rio kelimpungan. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Untuk hari ini dan selanjutnya, mereka hanya mengandalkan motor ojek sebagai pengantar aktivitas mereka bila ingin keluar rumah. Rio memang terlihat kerepotan ketika harus menangani berbagai pekerjaan. Bekas operasi caesar membuat Raisa belum bisa segera beraktivitas seperti biasa.
“Itu artinya, aku memiliki seorang istri yang hebat. Semua bisa ditangani tanpa ada yang terlewat. Mulai dari mengurus rumah tangga kita, merawat anak-anak, merawat suaminya yang ganteng ini, sampai bantu mengedit, menulis, dan lain-lain. Wah, pokoknya lengkap deh. Apalagi termasuk pintar memasak dan cerewet. Lho?! hehehe,” canda Rio sambil mencolek ujung hidung Raisa.
Raisa hanya bisa tersenyum melihat usaha suaminya membuat ia kembali tertawa. Entah karena baby blues atau memang kondisi mereka belakangan ini yang agak terpuruk, hal itu membuat Raisa sangat tertekan. Namun, melihat wajah Ferdi yang lugu tengah tertidur di sisi Rafi membuat Raisa tersadar akan dirinya sebagai ibu yang harus mampu bersikap tegar. Pelan-pelan, ia menarik napas panjang dan berucap, “Astagfirullah, mengapa aku begitu tertekan dengan kondisi kita belakangan ini ya, Mas? Rasanya dunia ini sempit dan Tuhan sengaja mempermainkan kehidupan kita sehingga menjadi seperti roller-coaster begini. Padahal, sekarang aku sudah memiliki dua jagoan. Tampaknya aku kurang bersyukur ya, Mas? Aku ….”
Belum selesai Raisa melengkapi kalimatnya, terdengar ketukan pintu diiringi suara berisik di halaman rumah. “Assalamu’alaikum. Any body home? Spadaaa! Sampurasuuun!” nyaringnya suara seorang pria terdengar jelas oleh Raisa dan Rio.
Sssttt, jangan-jangan mereka enggak ada di rumah. Mungkin masih di rumah sakit,” bisik seseorang perempuan mengikuti kalimat salam tadi.
Pintu pun segera dibuka oleh Rio dan di hadapannya tampak Bimo berdiri sambil membawa sebuah kardus yang tampak berat dan diangkat berdua dengan istrinya, Mona.
“Ayo, bantu angkat dong. Berat nih,” ujar Bimo, sang sahabat sambil menunjukkan wajah tengilnya.
Seketika Rio menghambur memeluk Bimo yang membuat kardus itu otomatis dipegang sendirian oleh Mona. Ia tampak kaget dan segera menangkap kardus tersebut.
“Halo sobat! Kangen deh. Ups, sini aku bawa kardusnya.” Rio segera membawa kardus itu ke dalam dengan tergopoh-gopoh.
“Ferdi … sini Nak. Ada Om Bimo dan Tante Mona nih,” Raisa turut memanggil anak mereka untuk berkumpul. Ferdi lalu mencium tangan Bimo dan Mona serta langsung membuka kardus dibantu oleh Raisa. Ia mengambil berbagai mainan dan camilan yang dibawa oleh sahabat orangtuanya tersebut.
“Kita kan enggak mau ketinggalan momen bahagia ini. Masa kalian mau menghabiskannya sendiri sih?” ucap Bimo seraya menyenggol lengan Rio yang terlihat semringah melihat kehadiran sahabatnya yang tak terduga itu. Sudah lama mereka tidak saling bertemu akibat berbagai kesibukan yang demikian membelit. Dunia maya memang menjadi wahana sementara untuk berbagi kabar. Tetapi, tentu masih ada yang kurang bila pertemuan secara fisik tidak dilakukan.
Satu hal yang mampu mereka pahami, persahabatan Bimo dan Rio teramat kuat hingga hampir seperti saudara sekandung. Apa yang dirasakan Bimo, dirasakan pula oleh Rio. Kebahagiaan atau kesulitan tak pelak sering menjadi sesuatu yang dijadikan ajang berbagi. Mereka saling memberi dan menerima. Jatuh bangun dilalui bersama dengan saling mengingatkan dan menguatkan.
Hari itu pun dihabiskan dengan canda, tawa, dan cerita mengenai kehidupan mereka. Mulai dari pekerjaan, keluarga di kampung halaman, hingga usaha Bimo dan Mona mendapatkan keturunan yang belum juga menampakkan hasil. Mereka sudah mencoba berbagai pengobatan alternatif dan melakukan serangkaian terapi, namun hasilnya masih nihil. Padahal, pernikahan mereka telah memasuki usia lebih dari enam tahun. Tidak terdapat pula masalah pada organ reproduksi mereka.
Dari wajah dan ekspresi mereka, tak tampak sedikit pun rasa iri akan sahabatnya yang kembali mendapat rezeki berupa seorang anak lagi. Mereka justru terlihat turut berbahagia dan antusias dengan kelahiran Rafi yang mereka akui sebagai keponakan.
“Hei, lihat Rafi. Ini lho bapak dan ibu baptismu datang, hahaha,” seloroh Bimo.
Husshh, apa-apaan sih?” ujar Mona sambil melotot ke arah Bimo.
Mona berusaha menggendong rafi yang sejak tadi matanya hanya kedap-kedip memperhatikan dua orang tersebut. “Doakan Om dan Tante supaya bisa punya adek lucu yang ganteng kayak kamu ya, Sayang, hehehe.”
“Insya Allah, bila saatnya tiba, Allah pasti akan memberi yang terbaik bagimu, Sobat. Jangan menyerah. Kami selalu mendoakan segala yang terbaik,” ucap Rio sambil menepuk-nepuk bahu Bimo, sahabatnya sejak masa kuliah tersebut.
“Ya, kami pun sudah pasrah bila harus menghabiskan waktu seumur hidup tanpa keturunan. Mungkin Allah menentukan ini sebagai hal yang terbaik bagi kami. Mungkin suatu saat kami akan mengadopsi atau mengangkat anak saja. Tapi … inilah usaha kami yang selanjutnya …,” Mona mengambil sesuatu dari dalam kardus dan menyerahkannya pada Bimo. Lalu, Bimo mengangsurkan benda yang ternyata sebuah amplop coklat besar ke tangan Rio. “Ambillah, dan segera singkirkan dari hadapan kami agar tidak berubah pikiran.”
Rio memandang Raisa, Bimo, dan Mona bergantian dengan pandangan tak mengerti. Ia segera membuka isi amplop tersebut yang ternyata sebuah BPKB dan STNK serta kunci motor yang mereka bawa. “Ow, ow, enggak lah Bim, kami enggak bisa menerima semua ini. Kendaraan ini kan sangat kalian butuhkan. Kami masih bisa kok menggunakan ojek bila ingin keluar rumah,” ujar Rio sambil mendorong amplop itu kembali ke hadapan Bimo.
“Itu berarti kalian tidak mau menerima rezeki dari Allah. Sombong amat sih. Coba lihat Ferdi dan Rafi. Mereka pasti senang bila bepergian dengan ayah bundanya tanpa harus bersusah payah. Kami ikhlas memberi buat kalian. Niat kami sejak berangkat memang ingin meng-nol-kan milik kami demi mendapatkan cita-cita yang kami harapkan. Pasti Allah yang menuntun kami sehingga barang-barang inilah yang terbawa. Ambil ya, pleeeaseee!” rajuk Bimo pada Rio.
Setelah serangkaian tolak-menolak, akhirnya Rio menyerah pada tekad kuat sahabatnya. Ia tak habis pikir mengapa sahabatnya ini menjadi agak ‘gila’ karena memiliki cita-cita yang bagi mereka sangat besar itu sehingga sanggup melepaskan salah satu hartanya yang sangat berharga. Mungkin bagi orang lain, memberikan sebuah motor adalah hal sepele. Akan tetapi, tidak demikian dengan Bimo. Ia sangat paham bahwa Bimo sangat memerlukan kendaraan tersebut untuk mencari nafkah. Tindakannya tersebut didorong oleh keyakinan bahwa ia akan mendapatkan keturunan jika ia berani menyedekahkan harta yang sangat dicintainya. Rio jadi teringat beberapa waktu yang lalu ada seorang ustaz yang mengajarkan tentang the miracle of giving. Mungkin Bimo tengah menerapkan hal itu dalam salah satu episode kehidupannya, batin Rio.
Siang yang agak terik itu menyisakan airmata dan dada yang membuncah oleh berbagai rasa bagi Raisa dan Rio. Mereka yakin masih akan ada skenario lain dari Tuhan yang akan membuat mereka berpikir tentang kemahakuasaan-Nya. Bimo dan Mona telah membuka pintu itu dan mereka kini menanti kejutan yang akan hadir sesudahnya.
“Mereka datang ke rumah dengan berboncengan dan kini, mereka pulang berjalan kaki sambil bergandengan tangan. Sangat indah, tapi justru membuat kita menangis, entah bahagia, entah sedih, entah terharu,” ujar Raisa sambil menggamit lengan Rio, suaminya yang terus menatap kepulangan sahabatnya hingga sosok mereka hilang dari pandangan.
***
Rafi menarik tangan Azzam dan Ferdi untuk mengikutinya ke pinggir kolam. Ia menyuruh adik dan teman kecilnya itu untuk duduk, kemudian membuka pelet yang telah dibawanya sejak berangkat tadi. Azzam dan Ferdi melemparkan pelet-pelet itu ke tengah kolam dan menyaksikan ikan-ikan berlompatan berebut pelet dengan pandangan takjub dan gembira. Mereka tampak demikian bahagia diajak berpiknik bersama ke danau bersama orangtua mereka.
“Allah memang Mahakuasa membolak-balikkan sesuatu ya. Bahkan, logika kita sebagai manusia kadang enggak bisa berpikir tentang segala kemungkinan yang tadinya terlihat mustahil. Hal yang pasti, sedekah enggak bisa dianggap sebagai sesuatu yang sederhana. Mbak Mona hebat bisa memiliki hati yang kuat untuk melakukannya. Tuh, lihat hasilnya ada di depan mata.” Raisa berbicara dan matanya memandang anak-anak itu sambil memasukkan pisang goreng ke dalam mulutnya.
“Benar, Mbak. Tapi semua itu bisa terlaksana berkat dukungan Mbak Raisa dan Mas Rio juga. Tentu akan semakin luar biasa bila kita semua mampu melakukan semua itu dengan hati yang ikhlas dan gembira,” Mona turut menimpali seraya membuka rantang-rantang berisi makan siang yang  telah mereka persiapkan dari rumah.
Beberapa ekor ikan terlihat berkejaran, membuat air bercabik menciptakan pusaran-pusaran kecil di dekat sekuntum teratai besar. Sinar matahari begitu teduh, berpendar melalui celah daun-daun. Mereka seolah ikut tersenyum dalam gerak alam semesta yang penuh cinta.***







0 comments:

Posting Komentar